Minggu, 09 Oktober 2011

Perbedaan Yuridis Hukum Kewarisan Menurut Kompilasi Hukum Islam dengan Hukum Perdata Barat

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hukum kewarisan adalah himpunan aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan. Pada prinsipnya kewarisan terjadi didahului dengan adanya kematian, lalu orang yang meninggal tersebut meninggalkan harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Mengenai kaedah positif yang mengatur perihal kewarisan, negara Indonesia belum mempunya hukum waris nasional. Tetapi setidaknya terdapat tiga kaedah hukum positif di Indonesia yang mengatur perihal kewarisan, yakni hukum adat, hukum perdata barat dan hukum Islam. Tentunya terdapat beberapa persamaan dan perbedaan di antara ketiga kaedah hukum yang mengatur perihal kewarisan tersebut.
Hukum Islam sendiri mengatur beberapa bidang hukum. Posisi hukum kewarisan dalam hukum Islam termasuk dalam lingkupan bidang hukum kekeluargaan. Pada umumnya perihal mengenai hukum kekeluargaan yang di dalamnya terdapat ketentuan mengenai kewarisan tersebut diatur dalam Al-Qur’an surat An-Nissa (Q.S.IV).
Harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris tidak serta merta berarti seluruhnya merupakan harta kekayaan yang nantinya akan dibagi kepada segenap ahli waris. Ada suatu saat dimana pewaris meninggalkan harta peninggalan berupa hutang. Perihal mengenai mewaris hutang ini sangat penting untuk diperhatikan mengingat bahwa di dalam setiap ketentuan positif yang mengatur perihal kewarisan dalam Al-Qur’an maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) selalu disebutkan bahwa bagian harta warisan akan siap untuk dibagi kepada segenap ahli waris jika telah dikurangi dengan hutang-hutang dan wasiat.
Dalam mewaris hutang-hutang, hukum kewarisan Islam mempunyai ketentuan tersendiri yang mengatur hal tersebut. Di lain sisi, kewarisan perdata barat dalam (KUHPerdata) pun juga mengatur hal yang sama pula. Oleh karena itu melalui makalah ini penulis akan membahas mengenai “Perbandingan ketentuan mengenai mewaris hutang menurut hukum kewarisan Islam dan menurut hukum kewarisan perdata barat.”
Hukum dalam Islam bersumber dari al-Qur’ân dan al-Sunnah yang merupakan wahyu (berupa kalâm) Allah dan praktik kebiasaan (sunnah) Rasul-Nya. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa dalam memahami dan mengaplikasikannya, alam pikiran kaum muslimin, sejak masa sahabat dan orang-orang cerdik cendekia yang disebut dengan mujtahidîn ikut berperan dalam mengembangkannya.
Segala yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya bersifat transenden, mutlak, dan absolut. Demikian halnya kebenaran dan keadilan dalam hukum-hukumnya. Berbeda halnya sumber hukum yang berasal dari manusia biasa, memiliki sifat yang relatif. Persoalan warisan, hukum dan tata aturannya hampir seluruhnya bersumber dari al-Qur’ân, sehingga ada orang mengatakan cukuplah membagi waris tersebut dengan aturan yang telah ditetapkan oleh al-Qur’ân. Dalam hal menentukan soal kewarisan, intervensi Hadîts atau sunah Rasul sangat sedikit, apalagi dari para sahabat dan mujtahidîn.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana kewarisan menurut KHI?
2. Bagaimana hukum Islam dan hukum perdata barat mengatur perihal kewarisan pada umumnya?
3. Bagaimanakah perbandingan ketentuan mengenai mewaris hutang menurut hukum kewarisan Islam dan hukum perdata barat?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Ditinjau Dari Hukum Kewarisan Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam buku II, bab I tentang ketentuan umum, dapat disimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam memisahkan konsep antara harta peninggalan dan harta warisan. Yang dimakssud harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan yang dimaksud mengenai harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Dengan adanya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka hukum kewarisan Islam menjadi hukum positif di Indonesia, khususnya bagi umat Islam. Dalam perkembangannya, hukum kewarisan Islam sebagai hukum positif diwujudkan dalam bentuk tertulis berupa Kompilasi Hukum Islam (KHI).KHI disebarluaskan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991.Meskipun oleh sebagian pihak KHI ini tidak diakui sebagai hukum perundang-undangan (karena memang KHI belum berwujud undang-undang, sehingga statusnya masih di bawah undang-undang), para pelaksana di peradilan agama telah sepakat menjadikannya sebagai pedoman dalam penyelesaian perkara di pengadilan.
Di dalam KHI yang memuat tiga buku, hukum waris Islam dicantumkan dalam Buku Kedua tentang Hukum Kewarisan. Hukum Kewarisan yang diatur dalam Pasal 171 sampai dengan 193 pada umumnya telah sesuai atau sejalan dengan hukum faraidh Islam. Namun demikian, ada beberapa pasal krusial yang perlu diperhatikan, yaitu Pasal 173 tentang halangan mewarisi, Pasal 177 tentang kewarisan bapak, Pasal 183 tentang perdamaian dalam pembagian warisan dan Pasal 185 tentang ahli waris pengganti.
a. Pembagian kewarisan menurut kompilasi hukum islam
Dalam al-qur’an:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا. وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَعْرُوفًا (النساء: 7-8).
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik” (Q.S. 4/al-Nisâ’: 7-8).
Dalam ayat tersebut memberikan pemahaman awal tentang pembagian harta warisan, yaitu seorang anak laki-laki ataupun perempuan, baik dewasa maupun kanak-kanak memperoleh harta warisan sesuai dengan kadarnya masing-masing, atau memperoleh bagian yang telah ditetapkan berdasarkan ayat berikutnya.Hal tersebut menunjukkan perbedaan pembagian waris di masa jahiliyah, bahwa kaum perempuan, seperti isteri dan anak perempuan dan anak laki-laki yang belum dewasa tidak beroleh hak dalam harta warisan.Selain itu, ayat di atas juga menunjukkan kedermawanan dalam ajaran Islam, bahwa ketika terjadi pembagian harta waris, sebaiknya memperhatikan keberadaan anak yatim, orang miskin dan karib kerabat untuk dibagikan ala kadarnya.
Ayat berikutnya menyatakan:
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَِلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَِلأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللهِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (النساء: 11).
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanyak (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu.Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S. 4/al-Nisâ’: 11).
Ayat di atas menunjukkan bahwa bagian anak laki-laki dua kali lipat dari bagian anak perempuan.Dua orang anak perempuan atau lebih memperoleh bagian 2/3 harta waris jika simuwârits (orang yang meninggal dan meninggalkan harta) tidak meningalkan anak laki-laki atau mu’âshibnya (orang yang menjadi ‘ashâbah, karena anak laki-laki tidak memperoleh bagian tertentu, tetapi sebagai ahli waris ‘ashâbah). Namun, jika anak perempuan itu hanya seorang sementara muwârits tidak meninggalkan anak laki-laki, ia beroleh ½ bagian harta waris. Sedangkan bapaknya orang yang meninggal, ataupun ibunya masing-masing memperoleh harta waris 1/6 bagian, jika muwârits tersebut meninggalkan anak (baik laki-laki maupun perempuan).Namun, jika tidak meninggalkan anak (laki-laki atau perempuan) dan dua orang saudara atau lebih, maka bagian ibu adalah 1/3nya, dan ayahnya memperoleh sisa harta atau ‘ashâbah setelah diambil oleh ibunya.
Berdasarkan ayat itu pula, ayah mendapatkan bagian 1/6 dan ‘ashâbah, dengan ketentuan bila anak yang diwarisi mempunyai far’u-wârits-muannats (anak perempuan orang yang meninggal), juga cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah.Dalam ayat tersebut dapat diambil petunjuk bahwa ayah mendapat 1/6 dalam keadaan bila mewarisi bersama-sama dengan far’u-wârits dari orang yang meninggal.Arti “walad” dalam ayat tersebut hanya khusus untuk far’u-wârits laki-laki maupun perempuan, baik seorang atau lebih.Adapun far’u ghair-wârits tidak dimasukkan ke dalam pengertian walad.
Kalau far’u-wârits yang bersama-sama mewarisi dengan ayah itu anak laki-laki, ayah hanya menerima 1/6 (fardh) saja, sebab sebagaimana diketahui anak laki-laki itu tergolong ahli waris ‘ashâbah, sebagaimana ayahpun dapat juga berstatus sebagai ahli waris ‘ashabah.Hanya saja, ‘ashâbah bagi anak harus didahulukan daripada ‘ashâbah bagi bapak, bila keduanya kebetulan bersama-sama mewarisi.Sesuai dengan ketentuan ayat, ayah mendapat 1/6 fardh (bagian) dan sesuai dengan ketentuan anak laki-laki sebagai ‘ashâbah, menerima sisanya.Kalau anak mendapat sisanya, sudah tidak ada lagi sisa yang tinggal untuk ditambahkan kepada ayah yang fungsinya juga sebagai ‘ashâbah. Dengan kata lain, sisa setelah diambil untuk memenuhi bagian ayah tidak dapat dibagi untuk mereka berdua, tetapi hanya untuk anak saja, sebab ia harus diutamakan daripada ayah. Tetapi kalau far’u-wârits yang mewarisi bersama-sama dengan ayah tersebut perempuan, baik tunggal maupun banyak yang mereka itu tergolong ashhâb al-furudh, maka sisa setelah diambil untuk ashhâb al-furudh, termasuk ayah sendiri, dihaki oleh ayah secara ta’shib, karena tidak ada ‘ashâbah yang lebih utama selain dia sendiri. Jadi, ayah mendapat 1/6 bagian plus ‘ashâbah.
Akan tetapi ada ketentuan lain, bila ahli warisnya hanya terdiri dari: suami, ayah dan ibu, atau isteri, ayah dan ibu. Bagian ayah dan ibu dalam hal ini adalah ‘ashâbah (sisa harta) setelah diambil oleh suami atau isteri.Bagian ayah dua kali lipat daripada bagian ibu.Dalam hal ini para fuqahâ’ menamai istilah tersebut dengan gharrawain, bentuk tatsniyah dari lafazh gharra (bintang yang cemerlang) lantaran kemasyhurannya dua masalah ini bagaikan dua bintang yang cemerlang.
Selanjutnya, ayat itu mengingatkan bahwa sebelum dibagikan harta waris, terlebih dahulu membayar hutang-hutang simayit (jika ia berhutang), dan melaksanakan wasiat (tentang harta)nya. Akhirnya, ayat di atas ditutup dengan suatu peringatan: “Ikutilah aturan Allah tersebut! Janganlah memperturutkan perasaan dengan membagi harta menurut sekehendakmu! Jangan membuat anggapan bahwa ahli waris yang satu merasa lebih dekat dan banyak memberi manfaat bagimu! Kedekatan dan kemanfaatan anggota keluarga (ahli waris) hanya Allahlah yang lebih tahu dan lebih bijaksana, karena Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana”.
Ayat di atas juga memberikan pemahaman tentang kata awlâdikum dapat dimaknai pula untuk bintul-ibni, yaitu anak-anak perempuan dari anak laki-laki (cucu-cucu perempuan), apabila muwârits tidak meninggalkan anak.Cucu perempuan bila seorang mendapatkan bagian 1/2nya, bila dua orang atau lebih mendapatkan 2/3nya.Jika bercampur cucu-cucu tersebut, antara cucu laki-laki dan perempuan, maka bagian mereka adalah ‘ashâbah (sisa harta), di mana cucu laki-laki beroleh dua kali bagian cucu perempuan. Dalam masalah perolehan ‘ashâbah bagi cucu-cucu ini ada tiga alternatif:
a. Jika tidak ada ashhâb al-furudh seorangpun, mereka menerima seluruh harta peninggalan secara ‘ashâbah, dengan ketentuan bahwa mereka yang laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat bagian perempuan.
b. Jika ada ashhâb al-furudh, mereka hanya menerima sisa harta dari ashhâb al-furudh, juga dengan cara pembagian seperti tersebut di atas.
c. Jika harta peninggalan telah dihabiskan oleh ashhâb al-furudh, mereka tidak menerima bagian sedikitpun.
Selanjutnya, seorang cucu perempuan memperoleh 1/6 bagian, jika tidak ada anak laki-laki, ada anak perempuan hanya seorang, dan tidak ada cucu laki-laki sebagai mu’âshibnya. Namun, jika ada dua orang anak perempuan atau lebih, maka cucu perempuan tidak memperoleh bagian. Sedangkan bagi cucu laki-laki, ia akan memperoleh ‘ashâbah dengan menghabiskan seluruh harta jika muwârits tidak meninggalkan ahli waris yang lain, dan akan memperoleh ‘ashâbah sebagai sisa yang ada apabila muwârits meninggalkan ahli waris yang tidak dapat dihijabnya, dan tidak ada cucu perempuan sebagai saudara yang sederajat dengannya. Bahkan, bisa jadi cucu laki-laki tersebut tidak memperoleh bagian walaupun statusnya sebagai ‘ashâbah, karena hartanya telah dihabiskan oleh ahli waris di atasnya.
Dalil tentang cucu-cucu ini juga berdasarkan qaul shahaby, Zaid bin Tsâbit Ra. beriku :
وَلَدُ اْلأَبْنَاءِ بِمَنْزِلَةِ اْلأَبْنَاءِ إِذَا لَمْ يَكُنْ دُوْنَهُمْ اَبْنَاءٌ، ذَكَرُهُمْ كَذَكَرِهِمْ وَاُنْثَاهُمْ كَأُنْثَـاهُمْ يَرِثُوْنَ كَمَا يَرِثُوْنَ، يَحْجُبُوْنَ كَمَا يَحْجُبُوْنَ، وَلاَ يَرِثُ وَلَدُبْنٍ مَعَ ابْنٍ ذَكَرٍ، فَإِنْ تَرَكَ ابْنَـةً وَابْنَ بْنٍ ذَكَرٍ فَلِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَِلإِبْنِ اْلإِبْنِ مَا بَقِيَ.
“Cucu-cucu dari anak laki-laki menduduki derajat anak laki-laki bila simati tidak meninggalkan anak-anak.Cucu-cucu laki-laki seperti anak-anak laki-laki, dan cucu-cucu perempuan seperti anak-anak perempuan, yakni mereka dapat mewarisi sebagaimana halnya anak-anak mewarisi dan dapat menghijab sebagai-mana halnya anak-anak menghijab, dan cucu-cucu dari anak laki-laki tidak dapat mewarisi bersama dengan anak laki-laki. Oleh karena itu, bila seseorang meninggalkan seorang anak perempuan dan cucu laki-laki dari anak laki-laki, maka untuk anak perempuan mendapat separuh, dan untuk cucu laki-laki mendapat sisanya”.
Ayat berikutnya lagi menyebutkan:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ، وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ، وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلاَلَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللهِ، وَاللهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (النساء: 12).
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari`at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun” (Q.S. 4/al-Nisâ’: 12).
Ayat di atas memberi petunjuk bahwa seorang suami memperoleh bagian ½ dari harta peninggalan isteri, jika isteri tidak meninggalkan anak (baik laki-laki maupun perempuan).Jika isteri meninngalkan anak, maka suami memperoleh ¼ bagian.Sedangkan bagian isteri separuh bagian suami, yaitu ¼ bagian harta suaminya yang meninggal jika suami tidak meninggalkan anak, dan 1/8 bagian jika suami meninggalkan anak.Namun jika yang meninggal itu tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak (kalâlah), baik laki-laki maupun perempuan), tetapi meninggalkan seorang saudara seibu (laki-laki atau perempuan), maka saudara laki-laki atau saudara perempuan itu beroleh harta 1/6 bagian.Jika saudara-saudara itu dua orang atau lebih, maka bagiannya adalah 1/3. Yang 1/3 itu dibagi sama tanpa memperhatikan saudara laki-laki memperoleh dua kali lipat saudara perempuan. Artinya, masing-masing saudara, baik laki-laki maupun perempuan memperoleh bagian yang sama dalam hal membagi 1/3 bagian harta tersebut.
Yang dimaksud dengan akhun aw ukhtun (saudara laki-laki atau saudara perempuan) dalam ayat tersebut ialah saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu. Hal ini berdasarkan qira’ah dari sebagian ulama salaf, antara lain Sa’âd bin Abî Waqâs Ra. dan berdasarkan penafsiran Abû Bakar al-Shiddîq Ra. yang dinukil oleh Qatâdah, katanya: “Bahwa Abû Bakar al-Shiddîq Ra. menerangkan dalam salah satu khutbahnya :
اَلاَ اِنَّ اْلآيَةَ الَّتِى نُزِلَتْ فِى اَوَّلِ سُوْرَةِ النِّسَاءِ فِى شَأْنِ الْفَرَائِضِ اَنْزَلَهَا فِى الْوَلَدِ وَالْوَالِدِ، وَاْلآيَةَ الثَّانِيَةَ اَنْزَلَهَا فِى الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ وَاْلإِخْوَةِ مَنَ اْلأُمِّ، وَاْلآيَةَ الَّتِى خُتِمَ بِهَا سُوْرَةُ النِّسَاءِ اَنْزَلَهَا فِى اْلإِخْوَةِ وَاْلأَخْوَاتِ مِنَ اْلأَبِ وَاْلأُمِّ، وَاْلآيَةَ الَّتِى خُتِمَ بِهَا سُوْرَةُ اْلأَنْفَالِ اَنْزَلَهَا فِى اُولِى اْلأَرْحَامِ بَعْضِهِمْ اَوْ لَى بِبَعْضٍ فِى كِتَابِ اللهِ مِمَّا جَرَتِ الرَّحِمُ مِنَ الْعَصَبَةِ (رواه ابن جرير).
“Perhatikanlah, bahwa ayat pertama yang diturunkan pada surat al-Nisâ’ dalam urusan pusaka-mempusakai diturunkan oleh Allah mengenai pusaka anak dan orang tua (ayat 11), ayat kedua diturunkan untuk menjelaskan pusaka suami, isteri dan saudara seibu (ayat 12).Ayat yang mengakhiri surat al-Nisâ’ (ayat 176) diturunkan untuk menjelaskan pusaka saudara-saudara sekandung. Sedangkan ayat yang mengakhiri surat al-Anfâl (ayat 75) diturunkan untuk menjelaskan pusaka dzawil arhâm yang sebagiannya lebih baik daripada yang lain menurut ketentuan dalam kitab Allah tentang ‘ashâbah yang berlaku pada dzawil arhâm” (H.R. Ibn Jarîr).
Selanjutnya ayat di atas memberikan pernyataan bahwa harta waris baru dibagikan setelah melaksanakan wasiat dan hutang-hutangnya simayit terlebih dahulu. Kemudian ayat itu ditutup dengan suatu penegasan bahwa hukum Allah tidak akan mendatangkan madharat (kesulitan), karena Allah Maha Mengetahui dan Maha Penyantun.
Ayat waris terakhir pada surat al-Nisâ’ adalah ayat yang terakhir pula pada surat tersebut, yaitu ayat 176:
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلاَلَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالاً وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (النساء: 176).
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalâlah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalâlah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan.Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Q.S.4/al-Nisa’: 176).
Ayat 176 surat al-Nisa’ ini menegaskan tentang kalâlah, namun dalam hal ini lebih dijelaskan tentang kondisi muwârits yang tidak meninggalkan anak, yang ditinggal sebagai ahli waris adalah saudara-saudaranya yang bukan seibu (kalau di ayat sebelumnya adalah saudara-saudara seibu), bisa saudara seibu-sebapak, ataupun saudara sebapak saja, baik laki-laki maupun perempuan. Bagian seorang saudara perempuan sama halnya dengan seorang anak perempuan, yaitu ½ bagian. Jika dua orang atau lebih perolehannya 2/3 bagian.Bersama-sama saudara laki-laki, maka saudara perempuan menjadi ‘ashâbah (bi al-ghair), dengan ketentuan perolehan saudara laki-laki dua kali lipat daripada saudara perempuan. Mereka dapat menerima seluruh harta jika tidak ada ahli waris yang lain, atau sisa harta setelah diambil oleh dzawil furûdh yang lebih berhak daripada mereka, atau tidak mendapatkan apapun karena telah habis dibagi oleh dzawil furûdh yang lebih berhak daripada mereka. Di samping itu, saudara perempuan seibu-sebapak atau sebapak saja juga dapat menjadi ‘ashâbah (ma’a al-ghair), yakni mewarisi bila bersama-sama dengan:
(a) seorang atau beberapa orang anak perempuan;
(b) seorang atau beberapa orang cucu perempuan dari anak laki-laki
(c) anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, dengan ketentuan saudara perempuan tersebut tidak bersama-sama saudara laki-laki yang menjadi mu’âshibnya. Bila ada saudara laki-laki, maka berlaku aturan lî al-dzakarimitslu hazhzhil untsayain (saudara laki-laki perolehannya dua kali lipat dari saudara perempuan).Sebagai penerima ‘ashâbah ma’a al-ghair, bahkan mungkin pula tidak menerima bagian sisa apapun karena telah dibagi oleh dzawil furûdh yang lebih berhak daripada mereka.Namun jika saudara perempuan seibu-sebapak bergabung hanya dengan saudara perempuan sebapak saja (masing-masing seorang), maka bagian saudara perempuan seibu-sebapak ½ bagian, sedangkan saudara perempuan sebapak saja perolehannya 1/6 bagian untuk menggenapkan 2/3 bagian. Sedangkan saudara laki-laki (baik seibu-sebapak atau sebapak saja) tanpa ahli waris yang lain memperoleh bagian ‘ashâbah, yang dapat menghabiskan seluruh harta, atau seluruh sisa harta setelah diambil oleh dzawil furûdh yang lebih berhak daripadanya, atau bahkan tidak memperoleh apapun karena habis dibagi oleh dzawil furûdh yang lebih berhak daripadanya.
Di ujung ayat lagi-lagi Allah menegaskan bahwa hendaknya diikuti dengan baik hukum Tuhan tersebut agar kita tidak tersesat, karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Selanjutnya, ada pembagian harta waris yang tidak disentuh oleh al-Qur’an, tetapi dikemukakan oleh Hadîts Nabi SAW, yaitu bagian nenek (baik ibunya ibu atau ibunya ayah, dan seterusnya ke atas), sebagai berikut :
عَنْ بُرَيْدَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعَلَ الْجَدَّةَ السُّدُسَ اِذَا لَمْ تَكُنْ دُوْنَهَا اُمٌّ (رواه أبو داود والنسائى).
“Dari Buraidah ra., menerangkan bahwa Nabi SAW menjadikan bagian 1/6 untuk nenek (dengan syarat) bila tidak ada ibu bersamanya” (H.R. Abû Dâwud dan al-Nasâ’îy).
Berdasarkan Hadîts tersebut seorang nenek itu bagiannya 1/6 selama ia tidak mewarisi bersama-sama dengan ibu. Jika ia mewarisi bersama-sama ibu ia termahjub (terhalang), tidak lagi mendapat 1/6 bagian, karena ia dipertalikan nasabnya dengan orang yang meninggal melalui ibu.
Nenek yang datang pada Abu Bakar ra.dalamHadîts tersebut ialah ibunya bapak yang menuntut warisan atas cucunya yang meninggal. Setelah Abu Bakar merundingkan dengan beberapa orang sahabat, maka atas dasar apa yang pernah dikerjakan Rasulullah SAW, nenek tersebut diberi 1/6 bagian. Kemudian datang nenek yang lain lagi, yaitu ibunya ibu kepada ‘Umar ra. dalam masalah yang sama. Kemudian ‘Umar ra.menjawab bahwa ia tidak ada hak mendapat warisan lantaran telah diambil oleh nenek yang pertama (ibunya bapak). Selanjutnya, beliau mengatakan kalau mereka itu bersama-sama, maka bagiannya adalah 1/6 dibagi dua sama rata, tetapi bila salah seorang saja yang terdahulu maka untuk yang terdahulu saja, sedang yang terakhir tidak mendapat apa-apa.
Ternyata, kemudian Kitab Undang-undang Hukum Warisan Mesir dalam Pasal 14 menetapkan bagian nenek dan nenek-nenek ialah 1/6 dengan dibagi sama antara mereka semua, tidak dibedakan antara yang berkerabat satu jurusan dengan yang kerabat dua jurusan. Bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
وَلِلْجَدَّةِ اَوِ الْجَدَّاتِ السُّدُسُ يُقَسَّمُ بَيْنَهُمْ عَلَى السَّوَاءِ لاَ فَرْقَ بَيْنَ ذَاتِ قَرَابَةٍ وَقَرَابَتَيْنِ.
“Bagi nenek atau nenek-nenek 1/6 bagian, dan dibagi sama rata antara mereka, tidak dibedakan antara yang mempunyai satu jurusan kerabat dengan yang mempunyai dua jurusan kerabat”.
Kemudian yang belum dibahas adalah bagian kakek, yang memang secara eksplisit tidak dikemukakan baik di dalam al-Qur’an maupun al-Hadîts Nabi SAW.Menurut kesepakatan para ulama ahli fiqh (fuqahâ’), pemahaman terhadap kakek ada dua hal.Pertama, kakek shahîh, dan kedua kakek ghair shahîh. Yang dimaksud dengan kakek shahîh adalah kakek yang hubungan nasabnya dengan orang yang meninggal (cucunya) tanpa diselingi oleh orang perempuan, seperti: Ayahnya ayah (Abû al-Ab) dan Ayah dari Ayahnya Ayah (Abû al-Abî al-Ab) dan seterusnya ke atas. Sedangkan kakek ghair shahîh, ialah kakek yang hubungan nasabnya dengan orang yang meninggal diselingi oleh orang perempuan, seperti: Ayahnya Ibu (Abû al-Umm) dan Ayah dari Ibunya Ayah (Abû al-Umm al-Ab).
Dalam hal ini tidak dibahas bagian waris kakek ghair shahîh, karena hubungan kekerabatannya terlalu jauh.Namun yang dikemukakan adalah bagian waris kakek shahîh saja, dengan ketentuan selama ayah sudah tidak ada, jika ayah masih ada bagian kakek terhalang oleh ayah.Artinya, kakek tidak mendapatkan bagian apapun.
Oleh karena kakek shahîh itu menduduki status ayah dengan ketentuan tersebut di atas, maka ia mendapatkan bagian pusaka seperti bagian ayah juga, yaitu:
1. 1/6 bagian dalam keadaan bila orang yang meninggal (cucunya) mempunyai keturunan laki-laki yang berhak mewarisi (far’u-wârits-mudzakkar);
2. 1/6 dan sisa dengan jalan ‘ashâbah dalam keadaan cucunya yang meninggal mempunyai keturunan perempuan yang berhak mewarisi (far’u-wârits-muannats);
3. ‘Ashâbah, dalam keadaan bila cucunya yang meninggal tidak mempunyai far’u-wârits secara mutlak, baik laki-laki maupun perempuan, atau bila ia mempunyai keturunan yang tidak berhak menerima pusaka (far’u-ghair-wârits), seperti cucu perempuan dari anak perempuan.

Di samping itu ada beberapa ketentuan yang berhubungan dengan kewarisan bahwa anak angkat dilarang menerima waris, berdasarkan al-Qur’an:
مَا جَعَلَ اللهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللاَّئِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ (الأحزاب: 4).
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri).Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (Q.S. 33/al-Ahzâb: 4).
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa anak angkat hanyalah sebutan sekedar dinyatakan di mulut dan boleh mengasihinya sebagaimana anak sendiri. Akan tetapi dalam hal waris, ia tidak tergolong sebagai ahli waris. Oleh karenanya ia tidak berhak memperoleh harta waris, kecuali dalam Komplasi Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia anak angkat tersebut memperoleh harta melalui wasiat wajibah.
Demikian halnya, berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadîts Nabi SAW pula dikemukakan hal-hal yang berkenaan dengan sebab mempusakai dan yang tidak berhak mempusakai ditentukan sebagai berikut:
Sebab-sebab seseorang berhak mempusakai (berhak menerima harta waris) orang yang meninggal dunia ada 4 (empat) hal:
1. Sebab hubungan darah (berdasarkan nasab/garis keturunan), seperti menjadi ayah- ibu, kakek, nenek dan seterusnya ke atas, atau sebagai anak, cucu dan seterusnya ke bawah. Perolehan mereka telah ditentukan oleh al-Qur’an sebagaimana dikemukakan di atas;
2. Sebab perkawinan (menjadi suami atau isteri orang yang meninggal dunia).Ketentuan pembagian waris telah pula diterangkan di atas;
3. Sebab memerdekakan budak (menjadi mu’tiq). Orang yang memerdekakan budak, ketika kelak budak yang telah dimerdekakannya meninggal berhak memperoleh harta waris dari budak yang pernah dimerdekakannya. Hal ini berdasrkan Hadîts Nabi Muhammad SAW berikut:
إِنَّمَا الْوِلاَءُ لِمَنِ اعْتَقَ (متفق عليه).
“Sesungguhnya hak itu untuk orang yang memerdekakan” (H.R. Muttafaq ‘Alaih).
4. Sebab hubungan Islam, di mana ketika seseorang meninggal dunia tidak memiliki lagi ahli waris, maka harta warisnya menjadi hak sesama umat Islam. Hal ini berdasarkan hadîts berikut:
أَنَا وَارِثٌ مَنْ لاَ وَرِثَ لَهُ (رواه أحمد وأبو داود).
“Saya menjadi ahli waris orang yang tidak mempunyai ahli waris” (H.R. Ahmad dan Abû Dâwud).
Sabda Nabi SAW tersebut memiliki makna bahwa Nabi mengatasnamakan dirinya sebagai penguasa (pimpinan) dalam Islam yang berhak menerima harta waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris. Sementara harta waris itu tidak dimakan oleh Nabi secara pribadi, tetapi diberikan untuk kepentingan umat Islam secara umum. Hal ini dapat pula dilakukan oleh seorang pimpinan dalam komunitas/organisasi keIslaman dengan memberikan pernyataan sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi, bahwa ia sebagai ahli waris bagi orang Islam yang meninggal dunia yang tidak memiliki lagi ahli waris, dan orang yang meninggal tersebut sewaktu hidupnya beraktivitas dalam lingkup komunitas/organisasi yang bersangkutan. Harta waris itu kemudian masuk ke dalam kas organisasi tersebut.
Sedangkan orang-orang yang tidak berhak mempusakai (mendapat harta waris), disebabkan oleh 4 (empat) hal pula, yaitu:
1. Hamba sahaya. Orang yang menjadi budak atau hamba kehilangan kemerdekaannya, maka iapun tidak memiliki sedikitpun hak harta waris. Hal ini berdasarkan nash al-Qur’an berikut:
... عَبْدًا مَمْلُوكًا لاَ يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ ... (النحل: 75).
“ … seorang hamba sahaya yang dimiliki tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun …” (Q.S. 16/al-Nahl: 75).
Menurut ayat tersebut seorang hamba tidak memiliki hak apapun (termasuk hak atas harta waris) sekalipun dari orang tuanya sendiri, karena ia telah hilang kemerdekaan atas dirinya sendiri;
2. Pembunuh, orang yang membunuh keluarganya tidak mendapatkan harta waris dari keluarga yang dibunuhnya itu. Nabi SAW bersabda:
لاَ يَرِثُ الْقَاتِلُ مِنَ الْمَقْتُوْلِ شَيْئًا (رواه النسائى).
“Orang yang membunuh tidak mewarisi harta dari orang yang dibunuhnya” (H.R. al-Nasâ-i).
3. Murtad, orang yang keluar dari agama Islam tidak dapat pusaka dari keluarganya yang masih tetap memeluk agama Islam, dan sebaliknya iapun tidak dipusakai oleh mereka yang masih beragama Islam.
عَنْ أَبِى بَرْدَةَ قَالَ: بَعَثَنِى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِلَى رَجُلٍ عَرَّسَ بِامْرَأَةِ اَبِيْهِ فَأَمَرَنِى اَنْ أَضْرِبَ عُنُقَهُ وَأُخْمِسَ مَالَهُ وَكَانَ مُرْتَدًّا.
Dari Abu Bardah, ia berkata: “Saya telah diutus oleh Rasulullah SAW kepada seorang laki-laki yang kawin dengan isteri bapaknya. Nabi SAW menyuruh agar saya membunuh laki-laki tersebut dan membagi hartanya sebagai harta mampasan, sedangkan laki-laki tersebut murtad” (al-Hadîts).
4. Kafir, orang yang tidak beragama Islam tidak berhak menerima pusaka dari keluarga yang memeluk Islam. Begitu juga sebaliknya, orang Islam tidak pula berhak menerima waris dari keluarganya yang kafir (tidak memeluk agama Islam).
لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ (رواه الجماعة).
“Orang Islam tidak berhak mewarisi (harta) orang yang bukan Islam (kafir). Demikian pula orang kafir tidak berhak mewarisi (harta) orang Islam” (H.R. al-Jama’ah).
Selanjutnya, masih berhubungan dengan soal warisan adalah masalah wasiat. Menurut ulama fiqh wasiat mengandung 4 (empat) rukun:
1. Orang yang berwasiat disyaratkan keadaannya bersifat mukallaf dan berhak berbuat kebaikanserta dengan kehendaknya sendiri.
2. Yang menerima wasiat (maushilah) hendaklah keadaannya dengan jalan yang bukan maksiat, baik kepada kemaslahatan umum, seperti membangun Mesjid, sekolah, atau yang lainya. Namun jika kepada yang tertentu, hendaklah ditambahkan syarat yang bersifat seseorang yang boleh memiliki.
3. Sesuatu yang diwasiatkan diisyaratkan keadaannya dapat berpindah milik dari seorang kepada orang lain.
4. Lafazh (kalimat) wasiat diisyaratkan dengan kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.
Wasiat akan harta paling banyak 1/3 (sepertiga) harta, tidak boleh melebihi kecuali apabila diizinkan oleh semua ahli waris sesudah matinya yang berwasiat.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: أَنَّ النَّاسَ غَضُّوْا مِنَ الثُّلُثِ اِلَى الرُّبَعِ فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الثُّلُثَ وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ (رواه البخارى ومسلم).
Dari Ibn ‘Abbas, beliau bersabda: “Alangkah baiknya jika manusia mengurangi wasiat mereka dari sepertiga ke seperempat, maka sesunguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: “Wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Wasiat hanya ditujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris wasiat tidak sah, kecuali apabila diberikan secara ikhlas oleh semua ahli waris yang lain sesudah matinya yang berwasiat.
عَنْ أَبِى أَمَامةَ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (رواه الخمسة إلا النسائى).
Dari Abu Amamah, beliau berkata: “Saya telah mendengar Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris, maka dengan ketentuan itu tidak ada hak wasiat lagi bagi ahli waris” (H.R. Lima orang ahli Hadits, kecuali al-Nasâ-i).
Demi kemaslahatan wasiat di kemudian hari, hendaklah sewaktu berwasiat dipersaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang yang adil.
Wasiat tersebut di atas adalah wasiat yang bersangkutan dengan harta. Ada pula wasiat yang bersangkutan dengan hak kekuasaan (tanggung jawab), yang akan dijalankan sesudah ia meninggal dunia, seperti orang berwasiat kepada orang lain supaya ia menolong mendidik anaknya kelak, membayar hutangnya, atau mengembalikan barang yang dipinjamnya. Hak kekuasaan yang diserahkan hendaklah berupa harta. Hak kekuasaan yang tidak berupa harta tidak sah diwasiatkan, umpamanya menikahkan anak perempuannya, karena kekuasaan wali setelah ia meninggal dunia berpindah kepada wali yang lain menurut susunan wali yang telah ditentukan.
B. Ditinjau dari hukum perdata barat
Dalam hukum waris perdata barat bagian perempuan seimbang atau sama rata bagian laki-laki, dikenal juga dengan sebutan testamen. Wasiat itu harus di bagi setelah si pemberi wasiat meninggal. Wasiat ada yang tertutup dan terbuka dan bisa di berikan kepada siapa saja. Wasiat berbeda dengan hibah karena kalau hibah bolah dilaksanakan selama si pemberi wasiat masih hidup, sedangkan wasiat baru boleh di laksanakan setelah si pemberi wasiat meninggal. Wasiat ini bisa di lakukan secara lisan atau tertulis dan di lakukan terhadap harta yang di miliki secara sempurna, artinya bukan harta dalam sengketa. Misalnya seorang bapak mewasiatkan sebidang tanah yang memang dia punya kepada anaknya. Wasiat juga tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan. Wasiat akan di perhitungkansebagai bagian dari warisan kalau lebih dari 1/3. Anak laki- laki langsung mendapat bagian ashobah atau sisa harta. Wasiat juga harus di saksikan oleh 2 orang saksi dan juga di saksikan secara otentik dicatatkan di kantor notaris.
Waris dapat menimbulkan konflik apabila terdapat anak di luar nikah. Untuk itu, maka anak dari hasil perkawinan memiliki kedudukan lebih kuat, karena untuk membuktikan adanya hubungan darah harus dengan bukti yang sah/ otentik bahwa kedua orang tua mereka menikah secara sah dan di catatkan kepada petugas pencatat nikah. Selanjutnya, anak yang di luar nikah tidak mendapat warisan dari ayahnya. Hanya mendapatkan warisan dari si ibu.
Untuk suatu keadaan di mana seorang istri hamil dan kemudian suaminya meninggal, juga terkadang menimbulkan permasalahan tersendiri dan menimbulkan pertanyaan apakah si anak yang dikandung ini bisa terhitung sebagai ahli waris? Pada dasarnya ahli waris adalah orang yang ada pada waktu si pewaris meninggal atau wafat. Timbul satu pengembangan bagaimana jika ahli waris meninggal sebelum si pewaris meninggal? Apabila si anak lahir bertepatan dengan meninggalnya suami itu perlu diperhitungkan sebagai bagian anak laki-laki. Namun apabila kembali kepada hukum atau norma, ahli waris adalah orang yang berada pada saat si pewaris wafat. Artinya kalau anak itu lahir setelah ayahnya meninggal atau ketika si ayah meninggal si anak masih dalam kandungan maka ia tidak menjadi ahli waris.
Menurut pasal 2 KUHPerdata, bahwa anak yang masih dalam kandungan merupakan subjek hukum, sehingga demikian, bayi dalam kandungan pun memiliki hak mewarisi, terdapat juga suatu kasus dimana di dalam sebuah keluarga terdapat delapan orang bersaudara .sebelum ayah mereka meninggal kedelapan anak sudah menandatangani surat hibah sebuah rumah untuk kakak yang tertua, tetapi kakak yang tertua adalah anak di luar nikah dan sekarang ia ingain menjual rumah hibah tersebut.dalam kasus ini timbul pertanyaan apakah kedelapan anak tersebut masih punya hak untuk mendapat bagian ?
Dalam kasus ini jika timbul sengketa maka pengadilan akan melihat bagaimana proses hibah itu berlangsung,sah atau tidak ?di setujui atau tidak oleh ahli waris .bisa saja satu setuju tetapi ke tujuh yang lain tidak.atau yang bertujuh setuju tetapi yang satu tidak,kalau demikian halnya hibah itu artinya bermasalah ,karena tidak disetujui oleh semua ahli waris .kemudian kalau pihak yang menerima hibah adalah anaki luar nikah berari dia bukan sebagai ahli waris dan dengan demikian tidak masuk dalam hitungan ahali waris .
Namun sang anak luar nikah itu sudah di akaui oleh ayah,maka hibah tidak menjadi masalah .kalau kasus ini terjadi maka pengadilan akan melihat dan menghitung kembali siapa ahli warisnya. Ahli waris itu yang delapan bersaudara itu di luar kakak yang di luar nikah itu. Si kakak yang di luar nikah itu tentu akan di hitung wasiatnya berdasarkan persetujuan semuanya dan tidak boleh dari 1/3 bagian artinya dibawah 1/3 boleh.
Jika harta hibahnya itu mau dijual oleh kakak yang diluar nikah tadi maka para adik tentunya harus tetap mendapat bagian dari penjualan hibah tersebut karna hibah tersebut merupakan harta warisan, bagaimana kalau sudah terlanjur dijual? Tentunya ini akan menjadi sengketa masalah harta, kalau sengketa masalah harta itu terjadi dan sudah melibatkan pihak ketiga (yaitu pembeli) maka kasus itu dikembalikan kepada pihak pengadilan negeri dulu untuk diselesaikan. Persoalannya kita bagi dulu sesuai bagian laki-laki dan perempuan dan yang satu itu dihitung sebagai wasiat, artinya kakak yang lahir diluar nikah itu dihitung sebagai wasiat dan bukan ahli waris dengan syarat tidak boleh lebih dari 1/3 harta, tetapi dibawah 1/3 juga boleh. Nanti pengadilan akan melihat apakah dia dipersamakan. Kalau dia dipersamakan dengan perempuan ya dihitung bagian perempuan, begitu pula sebaliknya.
Dalam persoalan anak yang masih kecil yang mendapat harta warisan, dalam al-qur’an dikatakan bahwa hendaklah dijaga harta anak yatim dan jangan sampai harta anak yatim itu termakan oleh orang yang menjadi pelindungnya, makanya seorang ibu yang punya anak, kemudian ada bagian harta warisan untuk anaknya itu harus dijaga agar jangan sampai terjual apalagi berpindah tangan, kecuali untuk kepentingan anak itu sendiri, misalnya untuk sekolahnya, kesehatannya.
Apabila seorang bercerai dia tidak mendapat harta warisan karena harta warisan itu hanya dalam ikatan perkawinan. Tapi untuk anak-anak dari orang tua yang bercerai mereka tetap mendapat warisan.
Dipengadilan agama terdapat pertolongan pembagian harta peninggalan (P3HP) yang membantu pengurusan harta warisan muslim yang tidak ada sengketa, artinya ahli waris sudah sepakat membagi harta warisan secara tertulis, ada surat-suratnya dan ahli waris mengajukan permohonan pembagian harta warisan di pengadilan agama melalui jalur (P3HP).
Kemudian jika timbul sengketa dalam hal pembagian warisan, maka hal itu diselesaikan melalui gugatan di pengadilan agama (bagi yang beragama islam) dan pengadilan negeri (bagi non muslim).
Kemudian apabila misalnya dari objek harta warisan dijual oleh ahli waris, tapi tidak semua ahli waris mengetahui bahwa harta warisan itu dijual bagaimana? Kalau itu merupakan bagian dari harta warisan harus dikompensasi. Berapa bagian yang sudah dijual dan berapa kompensasinya. Ahli waris yang tidak mengetahui ini juga dapat menuntut secara pidana (tindak pidana penipuan) ahli waris yang lainnyasehingga timbul sengketa hak. Menurut pasal 49 dan 50 UU Peradilan Agama sengketa hak itu harus diselesaikan di pengadilan negeri dulu. Pengadilan Agama hanya sebatas menentukan siapa ahli waris, berapa bagian ahli waris dan eksekusi ahli waris. Kalau sudah menyangkut sengketa harta maka Pengadilan Agama akan meminta bantuan dari pengadilan negeri dulu untuk memutus sengketa tersebut.
Apabila si pewaris melakukan poligami, apabila dia tidak punya anak maka bagian istri adalah ¼ . tapi kalu suami istri itu punya anak maka bagiannya 1/8. Jumlah 1/8 ini bukan untuk suami istri (pertama, kedua) 1/8. Kalau seperti ini maka jumlahnya 4/8. Jadi sisanya tinggal 4/8 atau separuhnya. Yang betul itu 1/8 bagian dibagi empat (kalau istrinya ada empat), untuk bagian anak-anaknya dihitung dari 4 orang istri berapa semua jumlah anaknya. Kalau anaknya berjumlah 10 orang laki perempuan, berarti 7/8 dibagi 10 untuk anak-anaknya, dengan perhitungan anak laki-laki 2 bagian dari anak perempuan.
C. Perbedaan pembagian kewarisan menurut kompilasi hukum islam dengan hukum perdata barat
 Pembagian warisan menurut kompilasi hukum islam
Di dalam KHI yang memuat tiga buku, hukum waris Islam dicantumkan dalam Buku Kedua tentang Hukum Kewarisan. Hukum Kewarisan yang diatur dalam Pasal 171 sampai dengan 193 pada umumnya telah sesuai atau sejalan dengan hukum faraidh Islam. Namun demikian, ada beberapa pasal krusial yang perlu diperhatikan, yaitu Pasal 173 tentang halangan mewarisi, Pasal 177 tentang kewarisan bapak, Pasal 183 tentang perdamaian dalam pembagian warisan dan Pasal 185 tentang ahli waris pengganti.
Bagian anak laki-laki dua kali lipat dari bagian anak perempuan. Dua orang anak perempuan atau lebih memperoleh bagian 2/3 harta waris jika simuwârits (orang yang meninggal dan meninggalkan harta) tidak meningalkan anak laki-laki atau mu’âshibnya (orang yang menjadi ‘ashâbah, karena anak laki-laki tidak memperoleh bagian tertentu, tetapi sebagai ahli waris ‘ashâbah). Namun, jika anak perempuan itu hanya seorang sementara muwârits tidak meninggalkan anak laki-laki, ia beroleh ½ bagian harta waris. Sedangkan bapaknya orang yang meninggal, ataupun ibunya masing-masing memperoleh harta waris 1/6 bagian, jika muwârits tersebut meninggalkan anak (baik laki-laki maupun perempuan). Namun, jika tidak meninggalkan anak (laki-laki atau perempuan) dan dua orang saudara atau lebih, maka bagian ibu adalah 1/3nya, dan ayahnya memperoleh sisa harta atau ‘ashâbah setelah diambil oleh ibunya.
 Pembagian kewarisan menurut hukum perdata barat
Dalam hukum waris perdata barat bagian perempuan seimbang atau sama rata bagian laki-laki, Apabila si pewaris melakukan poligami, apabila dia tidak punya anak maka bagian istri adalah ¼ . tapi kalau suami istri itu punya anak maka bagiannya 1/8. Jumlah 1/8 ini bukan untuk suami istri (pertama, kedua) 1/8. Kalau seperti ini maka jumlahnya 4/8. Jadi sisanya tinggal 4/8 atau separuhnya. Yang betul itu 1/8 bagian dibagi empat (kalau istrinya ada empat), untuk bagian anak-anaknya dihitung dari 4 orang istri berapa semua jumlah anaknya. Kalau anaknya berjumlah 10 orang laki perempuan, berarti 7/8 dibagi 10 untuk anak-anaknya, dengan perhitungan anak laki-laki 2 bagian dari anak perempuan.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Yang dimakssud harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan yang dimaksud mengenai harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Sebab-sebab seseorang berhak mempusakai (berhak menerima harta waris) orang yang meninggal dunia ada 4 (empat) hal:
5. Sebab hubungan darah
6. Sebab perkawinan (menjadi suami atau isteri orang yang meninggal dunia).
7. Sebab memerdekakan budak (menjadi mu’tiq).
8. Sebab hubungan Islam,
Sedangkan orang-orang yang tidak berhak mempusakai (mendapat harta waris), disebabkan oleh 4 (empat) hal pula, yaitu:
5. Hamba sahaya.
6. Pembunuh,
7. Murtad,
8. Kafir,
Selanjutnya, masih berhubungan dengan soal warisan adalah masalah wasiat. Menurut ulama fiqh wasiat mengandung 4 (empat) rukun:
5. Orang yang berwasiat disyaratkan keadaannya bersifat mukallaf dan berhak berbuat kebaikanserta dengan kehendaknya sendiri.
6. Yang menerima wasiat (maushilah) hendaklah keadaannya dengan jalan yang bukan maksiat, baik kepada kemaslahatan umum, seperti membangun Mesjid, sekolah, atau yang lainya. Namun jika kepada yang tertentu, hendaklah ditambahkan syarat yang bersifat seseorang yang boleh memiliki.
7. Sesuatu yang diwasiatkan diisyaratkan keadaannya dapat berpindah milik dari seorang kepada orang lain.
8. Lafazh (kalimat) wasiat diisyaratkan dengan kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.

DAFTAR PUSTAKA
 Dimyati Rusli, 2000,Bahan PenyuluhanHukum, Jakarta: Depertemen Agama RI.
 Muhammad Ali Ash-Shabuni, 1996, Pembagian Warisan Menurut Islam, Cet II., Jakarta: Gema Insani Press,

Related Posts:









0 komentar:

Posting Komentar

next page