Jumat, 17 Februari 2012

Masalah tidak dipikirkan tapi di selesaikan

Aku adalah mahasiswa yang tidak memiliki apa-apa.. yang kumiliki hanyalah keyakinan yang membuatku bisa bertahan hidup..
Aku tidak punya uang untuk membeli segala macam keperluan, kebutuhan, dll. Aku tidak memiliki seorang kekasih yang mampu menghibur saat sepi, menasehati saat khilaf, memberi makan saat lapar, dan sebagai tempat curahan hati..
Aku tidak memiliki semua itu..
impianku adalah menjadi seorang pengusaha kaya raya yang baik hati dan tidak sombong.,
seorang teman bertanya kepadaku:
"kira-kira apa arti dari sebuah kehidupan?"
aku jawab bahwa arti dari kehidupan itu adalah bersenang-senang..
kenapa karena kita diciptakan dengan segala fasilitas yang ada, maka manfaatkanlah segalanya tapi harus sesuai dengan norma dan ketentuan yang ada. hidup itu butuh kesenangan maka bersenang-senanglah. peluang yang sama datang cuma sekali, maka manfaatkan peluang itu sebaik-baiknya..
didalam hidupku, saya tidak pernah mengatakan tidak.. karena segala sesuatu itu bisa.. TIDAK ADA YANG TIDAK BISA KECUALI YANG TIDAK MAU BISA.
terkadang orang ketika ditimpa sebuah masalah langsung STRESS memikirkan masalah itu.. kalau saya ditanya maka saya jawab masalah itu tidak perlu dipikirkan masalah itu perlu penyelesaian..
pemikiran saya memang berbeda dengan kebanyakan orang,,,

Read More ...

Minggu, 12 Februari 2012

Masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya. Dengan menggunakan pikiran, naluri, perasaan, keinginan manusia memberi reaksi dan melakukan interaksi dengan lingkungannya.
Untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang tentram, dan teratur maka diperlukan nilai dan norma yang menjadi landasan berpikir bersama. Hal ini diperuntukkan agar kekacauan dan kesalah pahaman di dalam masyarakat bisa teratasi. Jika nilai dan norma ini bisa menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat maka, jelaslah bahwa akan tercipta masyarakat yang kuat, taat, saling menghormati, temtram dan sebagainya.
Nilai merupakan gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, yang berharga, yang mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai itu. Sedangkan norma itu sendiri merupakan Norma yang memungkinkan seseorang untuk menentukan terlebih dahulu baaimana tindakan itu akan dinilai oleh orang lain. Norma juga merupakan kriteria baik orang lain untuk mendukung atau menolak perilaku seseorang.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam mengembangkan makalah ini yang menenai masyarakat ini maka kami perlu merumuskan beberapa rumusan masalah diantaranya adalah:
1. Apa Pengertian masyarakat dan unsur-unsur dari masyarakat itu?
2. Baaimana ciri-ciri masyarakat yang baik?
3. Dalam menciptakan masyarakat yang teratur maka diperlukan nilai dan norma yang menjadi kesepakatan bersama. Nah, apa yang dimaksud dengan nilai dan norma itu?


























BAB II
PEMBAHASAN
A. MASYARAKAT
1. Pengertian Masyarakat
Berikut di bawah ini adalah beberapa pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia.
1. Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
2. Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
3. Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
4. Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
2. Faktor-Faktor / Unsur-Unsur Masyarakat
Menurut Soerjono Soekanto alam masyarakat setidaknya memuat unsur sebagai berikut ini :
1. Berangotakan minimal dua orang.
2. Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan.
3. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar anggota masyarakat.
4. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.
3. Ciri / Kriteria Masyarakat Yang Baik
Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar sekumpolan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai masyarakat.
1. Ada sistem tindakan utama.
2. Saling setia pada sistem tindakan utama.
3. Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
4. Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran / reproduksi manusia.
B. KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
Secara garis besar, nilai dan norma sosial merupakan kesepakatan bersama yang menjadi dasar bagi pembahasan mengenai kehidupan bersama sebagai realitas sosial. Jika kehidupan bersama tidak dilandasi kesepakatan bersama, keteraturan sosial tidak akan bisa tercipta.
1. Nilai
Sebaimana telah dibahas bahwa dalam realitas sosial kehidupan bersama, manusia memerlukan aturan hidup agar tercipta keteraturan sosial. Aturan hidup tersebut tidak selalu diwujudkan secara nyata, tetapi terdapat dalam diri manusia untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Ada perasaan-perasaan tertentu jika orang melakukan atau tidak melakukan hal tersebut. Meskipun terlihat abstrak, manfaatnya dapat dirasakan, bahwa ada yang dapat dihayati secara mendalam dengan intensitas yang tinggi.
Menurut Robert. M.Z. Lawang, nilai sosial adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, yang berharga, yang mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai itu. Menurut Karel J. Veegar, sosiologi memandang nilai-nilai sebagai pengertian-pengertian (sesuatu di dalam kepala orang) tentang baik tidaknya perbuatan-perbuatan. Dengan kata lain, nilai adalah hasil penilaian atau pertimbanan moral.
Nilai erat kaitannya dengan kebudayaan dan masyarakat. Setiap masyarakat atau setiap kebudayaan memiliki nilai-nilai tertentu mengenai sesuatu. Kebudayaan dan masyarakat itu sendiri merupakan nilai yang tak terhingga bagi orang yang memilikinya. Dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Koentjaraningrat membahas sepintas lalu mengenai Apa yang dimaksud sistem nilai budaya. Menurunya, sistem nilai budaya adalah konsep-konsep yang hidup dalam pikiran sebagian besar besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilali dalam hidup dan bisanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelaluan manusia, yang dijabarkan dalam bentuk konkret berupa aturan, norma, atau hukum yang mengatur perilaku tiap anggota dalam masyarakat.
Selanjutnya, Koentjaraningrat menunjukkan lima masalah pokok yang diambilnya dari kerangka Kluckhohn, yaitu semua sistem nilai dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini berhubungan dengan kelima masalah pokok tersebut. Kelima masalah poko itu sebagai berikut:
1. Hakikat Hidup Manusia
ada orang yang beranggapan bahwa hidup itu buruk dan penuh penderitaan. Ada juga yang berpendapat bahwa hidup itu baik, menyenangkan dan penuh kegembiraan. Perbedaan pendapat itu menghasilkan berbagai perilaku yang berbeda untuk menykapi masalah hidup. Bagi orang yang menilai bahwa hidup itu buruk, ada dua kemungkinan tindakannya. Kemungkinan pertama, hubungan sosialnya dengan sesama menjadi jelek karena ia merasa kecil hati dan meraas sebagai orang yang tidak dapat diterima oleh orang lain. Kemunggkinan kedua bahwa ia harus berupaya memperbaikinya.
Adapun bagi orang yang menilai bahwa hidup ini baik, konsekuensinya dari nilai hidup seperti ini, yaitu pertama, ia munkin memiliki sikap optimis, sehingga tidak kecil hati dan penuh percaya diri yang selanjutnya dapat menunjamg produktivitas yang tinggi. Kedua, ia mungkin menjadi malas bekerja karena menurutnya untuk apa bekerja, toh hidup sudah baik. Ia tidak berusaha melihat kemungkinan lain, akibatnya hidupnya menjadi statis.
2. Hakikat Karya manusia
Ada masyarakat yang beranggapan bahwa bahwa suatu karya diciptakan atau dibuat agar dapat hidup, ada pula yang beranggapan bahaw suatu karya merupakan simbol kekuasaan, kehormatan, atau status. Anggapan pertama, menghasilkan perilaku ala kadarnya karena berkarya hanya cukup untuk hidup. Adapun angapan kedua akan mempunyai motivasi untuk terus berkarya agar bisa memperoleh kedudukan lebih tinggi, bahkan bisa digunakan cara-cara kurang baik agar tujuan bisa tercapai.
3. Hakikat kedudukan Manusia dalam Ruang dan Waktu
Ada kebudayaan yang beranggapan bahwa hidup merupakan rangkaian dari masa lalu sehingga setiap perilakunya berpedoman pada kejadian-kejadian lalu. Ada pula kebudayaan yang berpendapat bahwa hidup tidak ada hubungannya dengan masa lalu karena hidup saat ini untuk hari ini, masa depan merupakan masalah yang tidak usah dipikirkan. Mereka akan pasrah menerima keadaan saat ini, dan tentang masa depan bagaimana nanti. Selain itu, ada pula kebudayaan yang berorientasi waktunya ke masa depan sehingga sesuatu pada masa lalu dan kini ditujukan untuk mencapai cita-cita pada masa depannya. Masyarakat yang demikian akan melakukan perencanaan yang baik untuk menghadapinya.

4. Hakiakt Manusia dengan Alam Sekitarnya
Ada kebudayaan yang berpandangan bahwa alam memiliki kekuatan yang dahsyat sehingga manusia tidak mungkin memamfaatkannya apalagi mengubahnya untuk mebutuhan hidup. Hal ini menghasilkan masyarakat yang pasrah dan tunduk kepada alam. Ada juga kebudayaan yang memandfang bahwa alam merupakan sumber daya yang harus dimanfaatkan meklalui berbagai eksploitasi. Ada pula kebudayaan yang beranggapan perlunya menjaga keselarasan dan keseimbangan alam.
5. Hakikat hubungan Manusia dengan Sesamanya.
Ada kebudayaan yang lebih memetingkan hubungan manusia secara vertikal yang bergantung pada pimpinan atau atasannya. Ada kebudayaan yang cenderung mementingkan hubungan horizontal antarsesamanya sehingga ia akan selalu hidup harmonis, gotong royong, tenggang rasda, dan kekerabatan. Ada pula kebudayaan yang cenderung menjadi individualis sehingga sedapat mungkin tidak membutuhkan bantuan orang lain.
Manusia berhubungan dengan sesamanya dapat dilihat dengan pola sikap dan tindakan. Umumnya pola sikap dan tindakan digolongkan kedalam tipe nilai budaya timur yang dianggap tradisional dan nilai budaya barat yang dianggap modern.
SISTEM NILAI BUDAYA
Masalah dasar dalam hidup Orientasi Nilai Budaya
Hakikat hidup Hidup ini buruk Hidup itu baik Hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berusaha supaya hidup menjadi baik
Hakikat karya Karya untuk nafkah hidup Karya untuk kedudukan atau status Karya untuk menambah karya
Pandangan manusia terhadap ruang dan waktu Orientasi ke masa lalu Orientasi ke masa lalu Orientasi kemasa depan
Pandangan manusia terhadap allam semesta Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat Manusia berusaha menjaga keselarasan dengan lalm Manusia berhasrat menguasai alam
Hakikat hubungan manusia dengan sesamanya Orientasi horizontal gotong royong, kekerabatan Orientasi vertikal, rasa ketergantungan kepada atasan atau pimpinan Individualisme, menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri
Menurut Notonegoro, nilai dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Nilai material adalah segala sesuatu yang berguna bagi manusia
2. Nilai vital adalah segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan aktivitas
3. Nilai kerohanian adalah segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia yaitu:
a. Nilai kebenaran atau kenyataan yang bersumber dari akal manusia (rasio, budi, dan cipta),
b. Nilai keindahan yang bersumber dari unsur rasa manusia (perasaan dan estetis),
c. Nilai moral atau kebaikan yang bersumber dari unsur kehendak atau memauan (karsa dan etika),
d. Nilai religius yang merupakan nilai ketuhanan yang tinggi dan mutlak yang bersumber dari keyakinan dan kepercayaan manusia (agama).
2. Norma
Manusia sebaGai makhluk sosial selalu membutuhkan orang lain dalam keberlangsungan hidupnya. Dalam kehidupan bersama agr dapat berjalan teratur, manusia memerlukan aturan-aturan tertentu karena tidak semua orang berbuat menurut kehendak hatinya. Jika keinginan seseorang dipaksakan terhadap orang lain, akan terjadi benturan dengan keinginan pihak lain.
Menurut Robert M.Z. Lawang, norma adalah patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma memungkinkan seseorang untuk menentukan terlebih dahulu baaimana tindakan itu akan dinilai oleh orang lain. Norma jua merupakan kriteria bai orang lain untuk mendukung atau menolak perilaku seseorang.
Robert M.Z. Lawang membagi norma hanya menjadi dua macam yaitu adat istiadat dan kebiasaan. Seringkali adat istiadat ini menjadi hukum tertulis yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Adat istiadat ataupun hukum memiliki kekuatan mengikat yang tegas. Adapun kebiasaan, tidak memiliki kekuatan yang menharuskan, sanksi terhadap pelanggaran tidak telalu berat. Biasanya, kebiasaan lebih mudah berubah dariada adat atau hukum.
Menurut Soerjono Soekanto, norma adalah suatu perangkat agar hubungan di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Norma-norma mengalami pelembagaan. Pelembagaan adalah suatu proses yang dilewati oleh suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari salahsatu lembaga masyarakat sehingga norma tersebut dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupan sesehari.
Norma-norma dalam masyarakat memiliki kekuatan dan mengikat yang berbeda-beda, ada yang lemah dan ada yang kuat. Oleh karena itu, pengertian norma-norma tersebut kemudian dibeda-bedakan. Berdasarkan kekuatan mengikatnya norma dapat dibagi sebagai berikut:
1. Cara (Usage)
Cara merupakan norma yang menunjuk pada suatu bentuk perbuatan dan memiliki kekuatan yan sangat lemah dibandingkan kebiasaan.
2. Kebiasaan (Folkways)
Kebiasaan merupakan norma yang memiliki kekuatan yang lebih besar daripada cara (usage) dan merupakan perbuatan yan diulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga dapat dikatakan bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut.
3. Tata Kelakuan (Mores)
Kerupakan norma yang berkembang dari kebiasaan, kebiasaan tersebut tidak semata-mata dianggap sebaai cara berperilaku saja, tetapi bahkan diterima sebagai norma-norma kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar atau tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggotanya.
4. Adat Istiadat (Custom)
Adat istiadat merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat.
Dalam masyarakat, norma-norma dibagi berdasarkan bidang-bidang tertentu, yang tidak selalu berdiri sendiri, bisa juga saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Maka dibagi menjadi:
1. Norma Agama
Norma yang mengandung peraturan-peraturan yang sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut oleh seorang atau masyarakat tertentu.
2. Norma Kesopanan
Petunjuk yang mengatur bagaimana seseorang harus bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Norma kebiasaan
Tata aturan seseorang atau kelompok dalam melakukan kegiatan yang didasarkan pada tradisi atau perilaku berulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga menjadi kebisaan.
4. Norma kesusilaan
Salah satu aturan yang bersala dari akhlak atau dari hati nurani sendiri tentang apa yang baik dan buruk .
5. Norma Hukum
Tata aturan yang paling tegas sanksi dan hukumnya. Yaitu norma tertulis dan norma tidak tertulis.
6. Norma sosial
Norma sosial merupakan faktor perilaku dalam kelompok yang memungkinkan seseorang untuk menentukan terlebih dahulu baaimana tindakannya akan dinilai.























BAB II
PENUTUP
A. KESIMPULAN
masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
sistem nilai budaya adalah konsep-konsep yang hidup dalam pikiran sebagian besar besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilali dalam hidup dan bisanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelaluan manusia, yang dijabarkan dalam bentuk konkret berupa aturan, norma, atau hukum yang mengatur perilaku tiap anggota dalam masyarakat.
Menurut Notonegoro, nilai dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Nilai material adalah segala sesuatu yang berguna bagi manusia
2. Nilai vital adalah segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan aktivitas
3. Nilai kerohanian adalah segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia yaitu:
a. Nilai kebenaran atau kenyataan yang bersumber dari akal manusia (rasio, budi, dan cipta),
b. Nilai keindahan yang bersumber dari unsur rasa manusia (perasaan dan estetis),
c. Nilai moral atau kebaikan yang bersumber dari unsur kehendak atau memauan (karsa dan etika),
d. Nilai religius yang merupakan nilai ketuhanan yang tinggi dan mutlak yang bersumber dari keyakinan dan kepercayaan manusia (agama).
norma adalah patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma memungkinkan seseorang untuk menentukan terlebih dahulu baaimana tindakan itu akan dinilai oleh orang lain. Norma jua merupakan kriteria bai orang lain untuk mendukung atau menolak perilaku seseorang.
Norma-norma dalam masyarakat memiliki kekuatan dan mengikat yang berbeda-beda, ada yang lemah dan ada yang kuat. Oleh karena itu, pengertian norma-norma tersebut kemudian dibeda-bedakan. Berdasarkan kekuatan mengikatnya norma dapat dibagi sebagai berikut:
1. Cara (Usage)
2. Kebiasaan (Folkways)
3. Tata Kelakuan (Mores)
4. Adat Istiadat (Custom)
Dalam masyarakat, norma-norma dibagi berdasarkan bidang-bidang tertentu, yang tidak selalu berdiri sendiri, bisa juga saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Maka dibagi menjadi:
1. Norma Agama
2. Norma Kesopanan
3. Norma kebiasaan
4. Norma kesusilaan
5. Norma Hukum
6. Norma sosial

Read More ...

Senin, 10 Oktober 2011

Subyek Sukum Internasional

A. Pengertian Subyek Hukum
Secara Umum Subyek hukum diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban, jadi pengertian subyek hokum internasional adalah pendukung hak dan kewajiban dalam hukum internasional. Pendukung hak dan kewajiban dalam hokum internasional dewasa ini ternyata tidak terbatas pada Negara tetapi juga meliputi subyek hokum internasional lainnya. Hal ini dikarenakan dewasa ini sering dengan tingkat kemajuan di bidang teknologi, telekomunikasi dan ransportasi dimana kebutuhan manusia semakin meningkat cepat sehingga menimbulkan interaksi yang semakin kompleks. Munculnya organisasi-organisasi Internasional baik yang bersifat bilateral, regional maupun multilateral dengan berbagai kepentingan dan latar belakang yang mendasari pada akhirnya mampu untuk dianggap sebagai subyek hokum internasional. Begitu juga dengan keberadaan individu atau kelompok individu (belligerent) yang pada akhirnya dapat pula diakui sebagai subyek hokum Internasional.
Jadi subyek hokum Internasional meliputi:
1. Negara
2. Organisasi Internasional (OI) baik yang Bilateral, Regional maupun Multilateral
3. Vatican atau Tahta Suci
4. Palang Merah Internasional
5. Pemberontak (Belligerent) atau Pihak Yang bersengketa
6. Penjahat Perang atau Genocide
7. Indivu.

B. Subyek Hukum Internasional
Subyek Hukum Internasional dapat diartikan sebagai negara atau kesatuan-kesatuan bukan negara yang dalam keadaan tertentu memiliki kemampuan untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban berdasarkan Hukum Internasional.
Kemampuan untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban ( Legal capacity) ini antara lain meliputi :
a. Kempuan untuk mengajukan klaim-klaim (How to make claims).
b. Kemampuan untuk mengadakan dan membuat perjanjian-perjanjian (How to make agreements)
c. Kemampuan untuk mempertahankan hak miliknya serta memiliki kekebalan-kekebalam (To enjoy of privileges and immunities)

Kemampuan untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban bagi subyek hukum Internasional dapat ditinjau dari dua aspek yaitu:
1. Dasar Hukum Berdirinya
2. Advisory opinion atau berdasarkan Keputusan atau Pendapat “International Court of justice”

Dengan meninjau dua aspek di atas maka legal capacity dari subyek hukum Internasional dalam bentuknya yang moderen dimana subyek hukum internasional tidak hanya terbatas pada negara sebagai satu-satunya subyek hukum internasional (pandangan klasik), maka kiranya perlu dikemukakan beberapa subyek hukum internasional yang merupakan kesatuan-kesatuan bukan negara khususnya mengenai legal capacitynya.
a. Organisasi Internasional
Dasar Hukum yang menyatakan bahwa Organisasai Internasional adalah subyek Hukum Internasional adalah pasal 104 Piagam PBB.
b. Individu
Dasar Hukum:
1. Perjanjian Versailles 1919 pasdal 297 dan 304
2. Perjanjian Uppersilesia 1922
3. Keputusan Permanent Court of Justice 1928
4. Perjanjian London 1945 (inggris, Perancis, Rusia, dan USA)
5. Konvensi Genocide 1948.
c. Pemberontak/ Pihak yang bersengketa
Dasar Hukumnya :
1. Hak Untuk Menentukan nasib sendiri
2. Hak untuk memilih sistem ekonomi, sosial dan budaya sendiri.
3. Hak untuk menguasai sumber daya alam.
d. Tahta Suci atau Vatican
Dasar Hukumnya :
Lateran Tretay (11 Februari 1929)
e. Palang Merah Internasional
Dasarnya : 1. Internasional Committee of Red Cross (ICRC)
2. Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang.

C. Negara Sebagai Subyek Hukum Internasional Utama

Beberapa literatur menyebutkan bahwa negara adalah subyek hukum internasional yang utama, bahkan ada literatur yang menyatakan bahwa negara adalah satu-satunya subyek hukum internasional.
Alasan yang mendasari pendapat yang menyakatan bahwa negara adalah subyek hukum internasional yang utama adalah:
d. Hukum Internasional megatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara, sehingga yang harus diurus oleh hukum internasional terutama adalah negara.
e. Perjanjian Internasional merupakan sumber hukum Internasional yang utama dimana negara yang paling berperan menciptakannya sehingga secara tidak langsung negara adalah subyek hukum internasional yang utama.

Read More ...

Proses Pengesahan Perjanjian Internasional menjadi UU di Indonesia

I. Latar Belakang

Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional dalam sistem tata hukum merupakan hal yang sangat menarik baik dilihat dari sisi teori hukum atau ilmu hukum maupun dari sisi praktis. Kedudukan hukum internasional dalam tata hukum secara umum didasarkan atas anggapan bahwa hukum internasional sebagai suatu jenis atau bidang hukum merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan sehingga mempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan dan asas pada bidang hukum lainnya. Bidang hukum lainnya yang paling penting adalah bidang hukum nasional.

Hal ini dapat dilihat dari interaksi masyarakat internasional dimana peran negara sangat penting dan mendominasi hubungan internasional. Karena peran dari hukum nasional negara-negara dalam memberikan pengaruh dalam kancah hubungan internasional mengangkat pentingnya isu bagaimana hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dari sudut pandang praktis.

Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu teori voluntarisme,[1] yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara, dan teori objektivis[2] yang menganggap berlakunya hukum internasional lepas dari kemauan negara.[3]
Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa akibat yang berbeda dalam memahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan teori voluntarisme memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum yang berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda dengan pandangan teori objektivis yang menganggap hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum.

II. Teori Keberlakuan Hukum Internasional

A. Aliran Dualisme

Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.[4]

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan hal ini:
1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional;

2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalah negara;

3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.

4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.[5]
Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya.

Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi.[6] Karena itu dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional.

B. Aliran Monisme

Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia.[7] Dengan demikian hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua perangkat hukum ini mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki dalam teori monisme ini melahirkan dua pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum internasional.

Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum internasional. Hal ini dimungkinkan dalam teori monisme.

Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri.[8] Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang kemukakan adalah sebagai berikut:
1. tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara;

2. dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.[9]
Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional.[10] Menurut paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.

Pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam menentukan keberlakuan dari hukum internasional di negara-negara. Indonesia sendiri menganut teori dualisme dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasionalnya.

III. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional
Dalam hukum internasional terdapat beberapa sumber hukum internasional. Menurut sumber tertulis yang ada terdapat dua konvensi yang menjadi rujukan apa saja yang menjadi sumber hukum internasional. Pada Konvensi Den Haag XII, Pasal 7, tertanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam Piagam Mahkamah Internasional Permanen, Pasal 38 tertanggal 16 Desember 1920, yang pada saat ini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tertanggal 26 Juni 1945.[11]

Sesuai dengan dua dokumen tertulis tersebut yang berisi penunjukan pada sumber hukum formal, hanya dua dokumen yang penting untuk dibahas, yaitu Piagam Mahkamah Internasional Permanen dan Piagam Mahkamah Internasional. Ini disebabkan karena Mahkamah Internasional mengenai Perampasan Kapal tidak pernah terbentuk, karena tidak tercapainya minimum ratifikasi. Dengan demikian Pasal 38 Mahkamah Internasional Permanen dan Pasal 38 ayat 1 Mahkamah Internasional, dengan demikian hukum positif yang berlaku bagi Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan dihadapannya adalah:
1. Perjanjian Internasional;

2. Kebiasaan Internasional;

3. Prinsip Hukum Umum;

4. Keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan hukum.[12]
Perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian yang dibuat atau dibentuk oleh dan diantara anggota masyarakat internasional sebagai subjek hukum internasional dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu.[13]

Dewasa ini dalam hukum internasional kecendrungan untuk mengatur hukum internasional dalam bentuk perjanjian intenasional baik antar negara ataupun antar negara dan organisasi internasioanal serta negara dan subjek internasional lainnya telah berkembang dengan sangat pesat, ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari masyarakat internasional, termasuk organisasi internasional dan negara-negara.

Perjanjian internasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina) 1969. Konvensi ini berlaku (entry into force) pada 27 Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai bagaimana prosedur perjanjian internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadi hukum nasional.[14]

Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional diantaranya adalah traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan lain-lain. Semua ini apapun namanya mempunyai arti yang tidak berbeda dengan perjanjian internasional.[15]

Dalam praktik beberapa negara perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi.[16] Golongan yang kedua adalah perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan.[17] Untuk golongan pertama biasanya dilakukan untuk perjanjian yang dianggap sangat penting sehingga memerlukan persetujuan dari dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power). Hal ini biasanya berdasarkan alasan adanya pembentukan hukum baru atau menyangkut masalah keuangan negara. Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian ini tidak dianggap begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat.

Selanjutnya apa yang menjadi ukuran suatu perjanjian mana yang termasuk golongan yang penting, sehingga memerlukan ratifikasi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan perjanjian mana yang tidak di Indonesia.

Proses pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan dalam pembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut:
1. Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2. Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.

3. Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.

4. Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.

5. Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan (ratification/accession/acceptance/approval).
IV. Pengesahan Pernjanjian Internasional di Indonesia

Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang.

Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.[18]

Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun.[19] Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional.

Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:
• Ketentuan Umum

• Pembuatan Perjanjian Internasional

• Pengesahan Perjanjian Internasional

• Pemberlakuan Perjanjian Internasional

• Penyimpanan Perjanjian Internasional

• Pengakhiran Perjanjian Internasional

• Ketentuan Peralihan

• Ketentuan Penutup[20]
Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu:
1. Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;

2. Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;

3. Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;

4. Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).
Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.

Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa (Full Powers).[21] Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri.

Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.

Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.[22]

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden.[23] Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR.[24] Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR.[25]
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:
• masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

• perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;

• kedaulatan atau hak berdaulat negara;

• hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

• pembentukan kaidah hukum baru;

• pinjaman dan/atau hibah luar negeri.[26]
Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000.

Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa:

”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.”

Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.

Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-undang yang lebih spesifik.

Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak.

Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

***
Catatan: Tulisan ini merupakan resume dari salah satu hasil penelitian yang dibuat penulis bersama tim lainnya dalam "Pengujian Undang-undang yang Mensahkan Perjanjian Internasional".
Endnotes:

[1] Teori-teori yang mendasarkan berlakunya hukum internasional itu pasa kehendak negara ini merupakan pencerminan dari teori kedaulatan dan aliran positivisme yang menguasai pemikiran ilmu hukum di Eropa pada abad ke 19.

[2] Teori ini menghendaki adanya suatu norma hukum yang merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum internasional. Akhir dari puncak kaidah hukum terdapat kaidah dasar (Grundnorm) yang tidak dapat lagi dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih tinggi. Kelsen dianggap sebagai bapak dari mazhab Wina, yang mempengaruhi teori Objektivis ini.

[3] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Jakarta 2003, hal 56

[4] I A Shearer, Starke’s International Law, 11th ed., Butterworths, USA, 1984, hal 64, Aliran ini pernah sangat berpengaruh di Jerman dan Italia. Para pemuka aliran ini adalah Triepel dan Anziloti.

[5] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumi, Bandung 2003, hal 57-56.

[6] Loc. cit.

[7] Ibid, hal 65.

[8] Op. cit., hal 61

[9] Ibid

[10] Ibid, hal 62, Paham ini dikembangkan oleh mazhab Wina (Kunz, Kelsen dan Verdross)

[11] Ibid, hal 114

[12] Shearer, hal 29

[13] Op. cit., hal 117

[14] Vienna Convention on the Law of Treaties, Vienna 1969

[15] Op. cit., hal 119

[16] Ibid

[17] Ibid

[18] Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tanggal 22 Agustus 1960.

[19] Loc. cit. Lihat: Catatan Kaki No. 5.

[20] Indonesia (a), Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185.

[21] Ibid, Pasal 7.

[22] Ibid, Pasal 8

[23] Ibid, Pasal 9

[24] Ibid, Pasal 10

[25] Ibid, Pasal 11

[26] Ibid, Pasal 10

Read More ...

Sejarah mahkamah Militer di Indonesia

Peralihan kekuasaan kehakiman secara organisasi, administrasi dan financial dari lembaga eksekutif ke Mahkamah Agung RI berdampak adanya restrukturisasi struktur organisasi yang ada di Mahkamah Agung RI. Restrukturisasi yang terjadi di Mahkamah Agung RI setelah berlangsungnya peradilan satu atap di Mahkamah Agung RI berkonsekewensi logis adanya pengembangan organisasi yang ada di Mahkamah Agung RI. Gambaran umum sebelum berlakunya peradilan satu atap Mahkamah Agung RI hanya melaksanakan pembinaan organisasi, administrasi dan financial untuk Mahkamah Agung RI, namun setelah adanya Peradilan satu atap di Mahkamah Agung RI, beban kerja yang harus ditanggung meliputi pembinaan organisasi, administrasi dan financial dari pengadilan tingkat pertama, banding maupun kasasi pada 4 (empat) lingkungan peradilan (Umum, Agama, Militer dan Tata Usaha Negara), dengan jumlah kurang lebih 750 Pengadilan (tingkat pertama s.d tingkat banding).
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara merupakan unit organisasi baru pada Mahkamah Agung, adalah unit eselon I yang mempunyai tugas antara lain merumuskan dan melaksanakan kebijaksanaan dan standarisasi teknis dibidang administrasi, keuangan dan organisasi ketatalaksanaan bagi tenaga teknis peradilan militer dan tata tusaha negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2005 Tentang Sekretariat Mahkamah Agung dan Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Nomor MA/SEK.07/SK/III/2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Mahkamah Agung RI.
Sebelum adanya Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2005 tersebut, struktur organisasi/unit kerja yang menangani teknis administrasi perkara pidana Militer dan perkara Tata Usaha Negara pada Mahkamah Agung berada di 2 unit kerja yaitu, untuk perkara pidana militer berada dibawah Direktorat Pidana yang di bawahnya terdapat Sub Direktorat Kasasi & PK Pidana Militer, yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi Direktorat Pidana Militer tersendiri. Sedangkan untuk unit kerja yang menangani perkara Tata Usaha Negara telah terbentuk Direktorat Tata Usaha Negara tersendiri.
Tupoksi yang diemban oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha sebagaimana diuraikan diatas yaitu merumuskan dan melaksanakan kebijaksanaan dan standarisasi teknis dibidang administrasi, keuangan dan organisasi ketatalaksanaan bagi tenaga teknis Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara, tidak ada salahnya jika kita mengetahui juga sedikit perkembangan dan perjalanan terbentuknya Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara./p>
Sejarah Terbentuknya Peradilan Militer Di Indonesia
a. Masa Pendudukan Belanda dan Jepang
Sebelum PD II peradilan militer Belanda di kenal dengan nama ‘Krijgsraad’ dan ‘Hoog Militair Gerechtshof’, hal ini sebagaimana tercantum dalam bepalingen Betreffende de rechtsmaacht Van De militaire rechter in nederlands Indie, S. 1934 no. 173 dan De Provisionele Instructie Voor Het Hoog Militair Gerechtshof Van Nederlands Indie, S.1992 no. 163.
Peradilan ini ruang lingkupnya meliputi pidana materil yang anggotanya terdiri dari anggota angkatan darat Belanda di Indonesia (Hindia Belanda) yaitu KNIL dan Angkatan Laut Belanda. Untuk diketahui, Angkatan Laut ini merupakan bagian integral dari Angkatan Laut kerajaan Belanda (Koninklijke Marine), sedangkan KNIL merupakan organisasi tersendiri dalam arti terlepas dari tentatara kerajaan Belanda (Koninklijke Leger). Atas dasar ini maka KNIL diperiksa dan diadili oleh Krijgsraad untuk tingkat pertama dan Hoog Militair Gerechtshop pada tingkat banding, sedangkan anggota angkatan laut diperiksa dan diadili oleh Zee Krijraad dan Hoog Militair Gerecht Shoof.
Krijgsraad terdapat di kota; Cimahi, Padang, dan Makassar dengan wilayah meliputi: Cimahi, Jawa Madura, Palembang, Bangka, Belitung, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalimantan, Bali, Lombok, Padang : Sumbar, Tapanuli, Aceh dan Sumatera Timur, Makassar : Sulawesi, Maluku dan Timor Krijsraad memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama terhadap anggota militer dengan pangkat Kapten ke bawah dan orang-orang sipil yang bekerja di militer. Sedangkan Hoog Militair Gerecht shoof merupakan pengadilan militer instansi kedua (banding) serta mengadili pada tingkat pertama untuk Kapten ke atas dan yang tertinggi di Hindia Belanda serta berkedudukan di Jakarta. Pada masa pendudukan Balatentara Jepang pada tanggal 2 maret 1942, berdasarkan Osamu Gunrei No. 2 tahun 1942, membentuk Gunritukaigi (peradilan militer) untuk mengadili perkara-perkara pelanggaran undang-undang militer Jepang. Pengadilan militer ini bertugas mengadili perbuatan-perbuatan yang bersifat mengganggu, menghalang-halangi dan melawan balatentara Jepang dengan pidana terberat hukuman mati.
Gunritukaigi dikepalai oleh Sirei Kan (pembesar Balatentara Jepang), yang beranggotakan:
• Sinbankan; hakim yang memberikan putusan
• Yosinkan; hakim yang memeriksa perkara sebelum persidangan
• Kensatakun; Jaksa
• Rokusi; Panitera
• Keiza; Penjaga terdakwa
b. Masa Awal Kemerdekaan (1945-1950)
Pada tanggal 5 Oktober 1945 Angkatan Perang RI dibentuk tanpa diikuti pembentukan Peradilan Militer. Peradilan Militer baru dibentuk setelah dikeluarkannya UU. No. 7 tahun 1946 tentang Peraturan mengadakan Pengadilan Tentara disamping pengadilan biasa, pada tanggal 8 Juni 1946, kurang lebih 8 bulan setelah lahirnya Angkatan Bersenjata RI.. Dalam masa kekosongan hukum ini, diterapkan hukum disiplin militer. Bersamaan dengan ini pula dikeluarkan UU No. 8 tahun 1946 tentang Hukum acara pidana guna peradila Tentara.
Bahwa, dengan dikeluarkannya kedua undang-undang diatas, maka peraturan-peraturan di bidang peradilan militer yang ada pada zaman sebelum proklamasi, secara formil dan materil tidak diperlakukan lagi. Dalam UU No. 7 Tahun 1946 Penradilan tentara di bagi menjadi 2 Tingkat, yaitu:
1. Mahkamah Tentara
2. Mahkamah Tentara Agung.
Peradilan Tentara berwenang mengadili perkara pidana yang merupakan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh:
1. Prajurit Tentara (AD) RI, Angkatan laut dan Angkatan Udara
2. Orang yang oleh presiden dengan PP ditetapkan sama dengan prajurit
3. Orang yang tidak termasuk gol 1 dan 2 tetapi berhubungan dengan kepentingan ketentaraan.
Pengadilan juga diberi wewenang untuk mengadili siapapun juga, bila kejahatan yang dilakukan termasuk dalam titel I dan II buku II KUHP yang dilakukan dalam daerah yang dinyatakan dalam keadaan bahaya. Mahkamah Tentara; pengadilan tingkat pertama yang berwenang mengadili perkara dengan tersangka prajurit berpangkat Kapten ke bawah. Mahkamah Tentara Agung; pada tingkat pertama dan terakhir untuk perkara:
• Terdakwanya serendah-rendahnya berpangkat Mayor
• Seorang yang jika dituntut di pengadilan biasa diputus oleh PT atau MA
• Perselisihan kewenangan antara Mahkamah-mahkamah tentara
Mahkamah Tentara Agung pada tingkat kedua dan terakhir, mengadili perkara yang telah diputus oleh mahkamah tentara.
Persidangan di pisahkan menjadi dua yakni persidangan untuk perkara kejahatan dan perkara pelanggaran. Pada tahun 1948 dikeluarkan PP No. 37 tahun 1948, yang mengubah beberapa ketentuan susunan, kedudukan dan daerah hukum yang telah diatur sebelumnya. PP ini mengatur peradilan tentara dengan susunan:
1. Mahkamah Tentara
2. Mahkamah Tentara Tinggi
3. Mahkamah Tentara agung
Bahwa, sistem peradilan dua tingkat yang diatur sebelumnya berubah menjadi tiga tingkat, dengan masing-masing kewenangan;
1. Mahkamah Tentara, mengadili dalam tingkat pertama kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan prajurit berpangkat kapten ke bawah
2. Mahkamah Tentara Tinggi, pada tingkat pertama mengadili prajurit yang berpangkat Mayor ke atas. Pada tingkat kedua memeriksa dan memutus segala perkara yang telah diputus mahkamah tentara yang diminta ulangan pemeriksaan.
3. Mahkamah Tentara Agung, pada tingkat pertama da terakhir memeriksa dan memutus perkara kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Panglima Besar, Kastaf Angkatan Perang, Kastaf Angkatan; Darat, Laut, Udara, Panglima Tentara Teritorium Sumatera, Komandan Teritorium Jawa, Komandan Teritorium Sumtera, Panglima Kesatuan Reserve Umum, Kastaf Pertahanan Jawa Tengah dan Kastaf Pertahanan Jawa Timur.
Dalam PP tersebut juga diatur adanya 3 tingkat kejaksaan tentara, yaitu :
1. Kejaksaan Tentara
2. Kejaksaan Tentara Tinggi
3. Kejaksaan Tentara Agung
Hukum Pidana Materil yang berlaku pada masa berlakunya undang-undang No. 7 tahun 1946 dan PP No. 37 tahun 1948 adalah sebagai berikut :
1. KUHP (UU. No. 1 tahun 1946)
2. KUHPT (UU. No. 39 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 167)
3. KUHDT (UU. No. 40 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 168)
Pada masa tahun 1946 hingga 1948 diadakan Peradilan Militer Khusus, sebagai akibat dari peperangan yang terus berlangsunf yang mengakibatkan putusnya hubungan antar daerah. Peradilan militer khusus ini meliputi:
1. Mahkamah Tentara Luar Biasa (PP. No. 5 tahun 1946).
2. Mahkamah Tentara Sementara (PP. No. 22 tahun 1947).
3. Mahkamah Tentara Daerah Terpencil (PP. No. 23 Tahun 1947).
Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda Melakukan Agresinya yang kedua terhadap negara RI. Agresi tersebut dimaksudkan untuk menghancurkan tentara nasional Indonesia dan selanjutnya pemerintah RI. Aksi tersebut mengakibatkan jatuhnya kota tempat kedudukan badan-badan peradilan ke tangan Belanda. Mengingat kondisi ini, maka dikeluarkanlah peraturan darurat tahun 1949 No. 46/MBKD/49 yang mengatur Peradilan Pemerintahan Militer untuk seluruh pulau Jawa -Madura. Peraturan tersebut memuat tentang:
1. Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer
2. Pengadilan Sipil Pemerintah Militer
3. Mahkamah Luar Biasa
4. Cara menjalankan Hukuman Penjara.
Selanjutnya dalam makalah ini penulis akan membatasi dengan hanya membahas pengadilan tentara pemerintahan militer. Pada masa ini Pengadilan Militer terdiri atas tiga badan yaitu:
1. Mahkamah Tentara Onder Distrik Militer (MTODM), berkedudukan sama dengan komandan ODM yang berwenang mengadili prajurit tingkat Bintara.
2. Mahkamah Tentara Distrik Militer (MTDM), berkedudukan sama dengan komandan DM yang berwenang mengadili perwira pertama hingga Kapten
3. Mahkamah Tentara Daerah Gubernur Militer, (MTGM), berkedudukan sama dengan Gubernur militer yang berwenang mengadili kapten sampai Letnan Kolonel.
Peraturan darurat tersebut hanya berjalan selama kurang lebih 6 bulan, kemudian pada tanggal 12 juli 1949 menteri kehakiman RI mencabut Bab II peraturan tersebut. Kemudian pada tanggal 25 Desember 1949 dengan PERPU No. 36 tahun 1949 mencabut seluruhnya materi Peraturan darurat No. 46/MBKD/49, dan aturan yang berlaku sebelumnya dinyatakan berlaku lagi. Berdasarkan Undang-undang darurat No. 16 tahun 1950, mengatur peradilan tentara kedalam tiga tingkatan yaitu:
1. Mahkamah Tentara
2. Mahkamah Tentara Tinggi
3. Mahkamah Tentara Agung
Sementara untuk Kejaksaan dibagi atas:
1. Kejaksaan Tentara
2. Kejaksaan Tentara Tinggi
3. Kejaksaan Tentara Agung
Undang-undang darurat No. 16 tahun 1950 kemudian dicabut dengan lahirnya UU No. 5 tahun 1950, yang sebenarnya hanya merupakan penggantian formal saja, sedangkan mengenai materinya tetap tidak mengalami perobahan. Pada masa ini masa RIS lahir Mahkamah Tentara di banyak tempat, seperti di Jawa-Madura pada kota-kota:
1. Jakarta; dengan daerah hukumya: Keresidenan Jakarta, Banten dan Bogor
2. Bandung; meliputi: Keresidenan Priangan dan Cirebon
3. Pekalongan; meliputi: Keresidenan Pekalongan dan Banyumas
4. Semarang; meliputi: Keresidenan Semarang dan Pati
5. Yogyakarta; meliputi: Keresidenan Yogyakarta dan Kedu
6. Surakarta; meliputi: Keresidenan Surakarta dan Madiun
7. Surabaya; meliputi: Keresidenan Surabaya, Bojonegoro dan Madura
8. Malang; meliputi: Keresidenan Malang dan Besuki.
Dengan Yogyakarta sebagai tempat kedudukan Mahkamah Tentara Tinggi, untuk daerah Jawa-Madura. Sumatera, Mahkamah Tentara berkedudukan dikota:
1. Medan: Bekas Keresidenan Aceh, Riau dan Sumatera Timur
2. Padang: Bekas Keresidenan Sumatera Barat dan Tapanuli
3. Palembang:Bekas Keresidenan Palembang, Jambi, Bengkulu, Lampung dan Bangka-Belitung.
Bukit Tinggi merupakan tempat kedudukan Mahkamah Tentara Tinggi untuk seluruh Sumatera. Kalimantan, Mahkamah Tentara berkedudukan dikota:
1. Pontianak: Bekas Keresidenan KALBAR dengan pulau-pulaunya
2. Banjarmasin: Bekas Keresidenan KALSEL dan KALTIM
Mahkamah Tentara Tinggi untuk seluruh Kalimantan berkedudukan di Jakarta. Mahkamah Tentara di Indonesia Timur berada di kota:
1. Makassar: Propinsi Sulawesi dan bekas Afdeling Ternate
2. Ambon: seluruh wilayah Maluku di kurangi Ternate
3. Denpasar: seluruh wilayah Propinsi Sunda Kecil (NTT-B).
Mahkamah Tentara Tinggi berkeduduan di Makassar dan Mahkamah Tentara Agung berkedudukan di Mahkamah Agung Indonesia.
c. Masa berlakunya UUDS 1950 (1950-1959)
Ketentuan yang telah ada pada masa RIS tetap berlaku kecuali yang tidak sesuai dengan tujuan negara kesatuan. Daerah hukum Mahkamah Tentara mengalami perubahan (penambahan dan pengurangan) seperti di :
Jawa-Madura :
1. Jakarta, tambah Kab. Kep. Riau (Tanjung Pinang)
2. Surabaya, tambah Kediri
Sumatera :
1. Medan, dikurangi Kab. Kep. Riau tapi ditambah dengan Tapanuli
2. Padang, dikurangi Tapanuli dan ditambah Kampar (Pekanbaru)
Kedudukan Pengadilan Tinggi Tentara yang sebelumnya di Bukit Tinggi dipindah ke Medan dengan wilayah hukum seluruh Sumatera.
Kalimantan :
Pengadilan Tinggi Tentara dipindah dari Jakarta ke Surabaya. Pada periode 1950-1959 di negar kita terjadi keadaan darurat, sebagai dampak dari politik federalisme kontra unitarisme. Seperti pemberontakan Andi azis di Makassar, Peristiwa APPRA di Bandung, RMS di Maluku, peristiwa DI/TII di Jabar, Jateng, Aceh dan Sulawesi Selatan serta peristiwa yang tidak kalah besar ialah peristiwa PRRI/Permesta di Sumtera dan Sulawesi. Berangkat dari kondisi diatas, dan demi untuk tetap menegakkan hukum di lingkungan militer, maka di bentuklah Peradilan Militer Khusus seperti;
1. Mahkamah Tentara Luar Biasa; Putusan mahkamah ini tidak dapat di mintakan banding
2. Mahkamah Angkatan Darat/Udara pertempuran Putusan mahkamah ini merupakan tingkat pertama dan terakhir.
d. Masa Juli 1959-11 Maret 1966
Pada Tanggal 5 Juli 1959 Presiden RI mengeluarkan dekrit yang menyatakan pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945. UU No. 5 tahun 1950 sejak dikeluarkannya dekrit tetap berlaku, tetapi perkembangan selanjutnya menyebabkan penerapannya berbeda dengan periode sebelum dekrit 5 Juli 1959. Hal ini karena makin disadari bahwa kehidupan militer memiliki corak kehidupan khusus, disiplin tentara yang hanya dapat dimengerti oleh anggota tentara itu sendiri. Karena itu dirasakan perlunya fungsi peradilan diselenggarakan oleh anggota militer.
Pada tanggal 30 Oktober 1965 di undangkan Penetapan Presiden No.22 tahun 1965, tentang perobahan dan tambahan beberapa pasal dalam UU. No. 5 tahun 1950. Perobahan-perobahan tersebut adalah mengenai pengangkatan pejabat-pejabat utama pada badan-badan peradilan militer. Dengan adanya ketentuan tentang pengangkatan tersebut, maka ketua pengadilan tentara dan pengadilan tentara tinggi, yang menurut ketentuan lama, karena jabatannya dijabat oleh oleh ketua pengadilan Negeri/ketua pengadilan tinggi, sekarang di jabat oleh pejabat dari kalangan Militer sendiri. Perubahan sama berlaku pula pada panitera.
Penyiapan tenaga ini telah dilakukan sejak tajun 1952 dengan mendirikan dan mendidik para perwira pada akademi hukum militer. Tahun 1957 angkatan I telah lulus kemudian melanjutkan ke ke Fakultas Hukum dan pengetahuan masyarakat, Universitas Indonesia. Tahun 1961 merupakan awal pelaksanaan peradilan militer diselenggarakan oleh para perwira ahli/sarjana hukum, sesuai dengan instruksi Mahkamah agung No. 229/2A/1961 bahwa mulai september 1961 hakim militer sudah harus mulai memimpin sidang pengadilan tentara. Demkian halnya dengan kejaksaan.
Dengan perkembangan tersebut diatas, dimulailah babak baru dalam penyelenggaraan Peradilan Militer. Perkembangan selanjutnya ialah anggota dari suatu angkatan diperiksa dan diadili oleh hakim jaksa dari angktan bersangkutan. Perkembangan selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah di undangkannya undang-undang No. 3 PNPS tahun 1965 tentang memberlakukan Hukum Pidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara dan Hukum disiplin tentara bagi angkatan Kepolisian pada tanggal 15 maret 1965. Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya UU. No. 23 PNPS 1965 pada tanggal 30 Oktober 1965 yang menetapkan bahwa dalam tingkat pertama, tantama, bintara dan perwira polisi yang melakukan tindak pidana di adili oleh badan peradilan dalam lingkungan angkatan kepolisian. Sebelumnya diadili di badan peradilan angkatan darat dan angkatan laut untuk yang kepulauan Riau.
Dengan demikian peradilan dalam lingkungan Peradilan Militer dalam pelaksanaannya terdiri dari:
1. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Darat
2. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Laut
3. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Udara
4. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Kepolisian.
Peradilan ini terus berlangsung hingga setelah 11 maret 1966, bahkan peradilan di lingkungan angkatan kepolisian baru di mulai pada tahun 1966.
e. Masa 11 Maret 1966-1997
Pelaksanaan peradilan militer didalam lingkungan masing-masing angkatan seperti yang ada sebelumnya tetap berlaku hingga pada awal 1973. Tahun 1970 lahirlah UU No. 14 tahun 1970 menggantikan UU No. 19 tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini mendorong proses integrasi peradilan di lingkungan militer. Baru kemudian berubah ketika dikeluarkan berturut-turut :
1. Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan/Pangab pada tanggal 10 Juli 1972 No. J.S.4/10/14 – SKEB/B/498/VII/72
2. Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan keamanan pada tanggal 19 maret 1973 No. KEP/B/10/III/1973 – J.S.8/18/19. Tentang perobahan nama, tempat kedudukan, daerah hukum, jurisdiksi serta kedudukan organisatoris pengadilan tentara dan kejaksaan tentara.
Barulah kemudian peradilan militer dilaksanakan secara terintegrasi. Pengadilan militer tidak lagi berada di masing-masing angkatan tetapi peradilan dilakukan oleh badan peradilan militer yang berada di bawah departemen pertahanan dan keamanan. Kemudian berdasar dari SK bersama tersebut, maka nama peradilan ketentaraan di adakan perubahan. Dengan demikian, maka kekuasaan kehakiman dalam peradilan militer dilakukan oleh:
1. Mahkamah Militer (MAHMIL)
2. Mahkamah Militer Tinggi (MAHMILTI)
3. Mahkamah Militer Agung (MAHMILGUNG).
Pada tahun 1982 dikeluarkan Undang-undang No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan pokok pertahanan keamanan negara RI yang kemudian diubah dengan undang-undang No 1 tahun 1988. Undang -undang ini makin memperkuat dasar hukum keberadaan peradilan militer. Pada salah satu point pasalnya dikatakan bahwa angkatan bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai wewenang penyerahan perkara.
Hingga tahun 1997 hampir tidak ada perubahan yang signifikan dalam pelaksaanan peradilan militer di Indonesia.
f. Peradilan Militer 1997-Sekarang
Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Undang-undang ini lahir sebagai jawaban atas perlunya pembaruan aturan peradilan militer, mengingat aturan sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Undang-undang ini kemudian mengatur susunan peradilan militer yang terdiri dari :
1. Pengadilan Militer (Dilmil)
2. Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti)
3. Pengadilan Militer Utama (Dilmiltama)
4. Pengadilan Militer Pertempuran. (Dilmilpur)
Dengan diundangkannya ketentuan ini, maka Undang-undang Nomor 5 tahun 1950 tentang susunan dan kekuasaan pengadilan/kejaksaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan, sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 22 PNPS tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian halnya dengan UU No. 6 tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada pengadilan tentara, sebagaimana telah di ubah dengan UU No 1 Drt tahun 1958 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Read More ...
next page