Minggu, 09 Oktober 2011

Kecerdasan Spiritual dan Kecerdasan Tauhid

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setelah beberapa lama “Kecerdasan Intelektual “ yang lebih dikenal dengan IQ menjadi peranan penting, muncul “Kecerdasan Emosional” ( EQ ) yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman. Orang mulai menyadari bahwa kesuksesan dapat dicapai bila ada keseimbangan antara “Kecerdasan Intelektual” dan “Kecerdasan Emosional”.
Kemudian Psikolog Danah Zohar dan suaminya Ian Marshall memunculkan Q yang ketiga yaitu SQ yang merupakan landasan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Sependapat dengan mereka, SQ lebih tepat disebut “Kecerdasan Spiritual” karena quotient adalah angka dari hasil pembagian. Buku mereka yang berjudul “SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence” memuat bahwa Kecerdasan Spiritual tidak bisa dihitung karena pertanyaan yang diberikan semata-mata merupakan latihan perenungan.
Menurut mereka, kita hidup dalam budaya yang “bodoh secara spiritual”. Maksudnya, kita telah kehilangan pemahaman terhadap nilai-nilai mendasar. Kehidupan yang “ bodoh secara spiritual” ini ditandai dengan materialisme, egoisme, kehilangan makna dan komitmen. Bahkan dikatakan, kekeringan spiritual terjadi sebagai produk dari IQ manusia yang tinggi. Oleh karena itu, penting sekali kita meningkatkan SQ.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan kami angkat untuk membantu perkembangan pada bab selanjutnya adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan kecerdasan spiritual dan kecerdasan tauhid?
2. Apakah kecerdasan spiritual menentukan jati diri?
3. Bagaimana caranya meningkatkan kecerdasan spiritual?
4. Apa perbedaan antara kecerdasan spiritual dengan kecerdasan emosional?
5. Apakah kecerdasan spiritual bias dilatih dan bagaimana caranya?


BAB II
PEMBAHASAN
A. KECERDASAN SPIRITUAL
1. Pengertian
Menurut Munandir (2001 : 122) kecerdasan spritual tersusun dalam dua kata yaitu “kecerdasan” dan “spiritual”. Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, terutama masalah yang menuntut kemampuan fikiran. Berbagai batasan-batasan yang dikemukakan oleh para ahli didasarkan pada teorinya masing-masing. Selanjutnya Munandir menyebutkan bahwa Intelegence dapat pula diartikan sebagai kemampuan yang berhubungan dengan abstraksi-abstraksi, kemampuan mempelajari sesuatu, kemampuan menangani situasi-situasi baru.
Sementara itu Mimi Doe & Marsha Walch mengungkapkan bahwa spiritual adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Ia memberi arah dan arti bagi kehidupan kita tentang kepercayaan mengenai adanya kekuatan non fisik yang lebih besar dari pada kekuatan diri kita; Suatu kesadaran yang menghubungkan kita langsung dengan Tuhan, atau apa pun yang kita namakan sebagai sumber keberadaan kita. Spiritual juga berarti kejiwaan, rohani, batin, mental, moral.
Jadi berdasarkan arti dari dua kata tersebut kerdasan spiritual dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan nilai, batin, dan kejiwaan. Kecerdasan ini terutama berkaitan dengan abstraksi pada suatu hal di luar kekuatan manusia yaitu kekuatan penggerak kehidupan dan semesta.
Menurut Tony Buzan kecerdasan spiritual adalah yang berkaitan dengan menjadi bagian dari rancangan segala sesuatu yang lebih besar, meliputi “melihat suatu gambaran secara menyeluruh”. Sementara itu, kecerdasan spiritual menurut Stephen R. Covey adalah pusat paling mendasar di antara kecerdasan yang lain, karena dia menjadi sumber bimbingan bagi kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual mewakili kerinduan akan makna dan hubungan dengan yang tak terbatas.
Zohar dan Marshal mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dari pada yang lain. Kecerdasan spiritual menurut Khalil A Khavari di definisikan sebagai fakultas dimensi non-material kita atau jiwa manusia. Ia menyebutnya sebagai intan yang belum terasah dan dimiliki oleh setiap insan. Kita harus mengenali seperti adanya, menggosoknya sehingga mengkilap dengan tekat yang besar, menggunakannya menuju kearifan, dan untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi kecerdasan spiritual adalah kemampuan potensial setiap manusia yang menjadikan ia dapat menyadari dan menentukan makna, nilai, moral, serta cinta terhadap kekuatan yang lebih besar dan sesama makhluk hidup, karena merasa sebagai bagian dari keseluruhan. Sehingga membuat manusia dapat menempatkan diri dan hidup lebih positif dengan penuh kebijaksanaan, kedamaian, dan kebahagiaan yang hakiki.
2. Kecerdasan Spiritual Menentukan Jati Diri
Sudah tertanam anggapan umum masyarakat, anak yang nilai matematikanya kurang bagus dikelompokkan sebagai anak bodoh. Wajar jika sebagian besar orang tua cemas bila anaknya kurang pandai matematika.
Padahal kecerdasan tidak hanya terbatas pada intelektual, dikenal juga kecerdasan emosional (emotional intelligence) dan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence).
Jika kecerdasan emosional memang membuat orang lebih mudah mencapai sukses dalam hidup. Tapi, untuk menemukan kebahagiaan dan makna dari kehidupan, diperlukan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan spiritual diyakini sebagai kecerdasan yang paling utama dibandingkan dengan berbagai jenis kecerdasan yang lain. Kata spiritual memiliki akar kata spirit yang berarti roh. Kata ini berasal dari bahasa Latin, spiritus, yang berarti napas.
Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat manusia dapat hidup, bernapas dan bergerak. Spiritual berarti pula segala sesuatu di luar fisik, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter kita.
Kecerdasan spiritual berarti kemampuan seseorang untuk dapat mengenal dan memahami diri seseorang sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan memiliki kecerdasan spiritual berarti bisa memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang kita jalani dan ke manakah kita akan pergi
Menurut Roberts A. Emmons dalam buku The Psychology of Ultimate Concerns, ada lima karakteristik orang yang cerdasa secara spiritual yaitu kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material, kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk berbuat baik.
“Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual,” ujar Emmons.
Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Dia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Dia merujuk pada warisan spiritual seperti teks-teks Kitab Suci untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi.
Pengamat dan pakar pendidikan, DR. H. Arief Rachman MPd mengemukakan pentingnya mengembangkan potensi anak untuk mendukung kecerdasan majemuk. Menurut Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu, orangtua hendaknya mengenali ragam potensi kecerdasan anak yaitu potensi spiritual, potensi perasaan, potensi akal, potensi sosial, potensi jasmani.
Potensi spiritual terdiri dari kemampuan menghadirkan Tuhan atau keimanan dalam setiap aktivitas, kegemaran berbuat untuk Tuhan, disiplin beribadah, sabar berupaya, dan bersyukur atas pemberian Tuhan kepada kita. Sedangkan potensi perasaan mencakup pengendalian emosi, mengerti perasaan orang lain, senang bekerjasama, menunda kepuasan sesaat dan berkepribadian stabil.
Menurut Psikolog Anak & Remaja Lentera Insan Child Development & Education Center, Hj. Fitriani F. Syahrul, Msi.Psi, perayaan hari raya Idul Fitri sebenarnya sebagai salah satu waktu yang tepat dalam mengasah kecerdasan spiritual.
Sayangnya, masih banyak orangtua yang belum mencontohkan hari raya Idul sebagai ajang untuk membersihkan jiwa sehingga kembali suci. Namun, masih sebatas ritual seperti baju baru atau pemberian angpau pada waktu silaturahmi ke rumah kerabat.
“Sebenarnya bermaaf-maafan itu sebaiknya dilakukan sebelum bulan puasa, kemudian kita menjalankan ibadah puasa sebaik-baiknya. Sehingga memudahkan kita untuk kembali suci diri pada hari Idul Fitri,” ujar ibu dari tiga anak ini.
Selain itu, mengasah kecerdasan spiritual juga dapat dilakukan dengan mengajarkan anak-anak bersyukur atas makanan yang lebih banyak di hari raya Lebaran sebagai berkah atas ketakwaan yang dilakukan selama bulan Ramadhan.
Yang sering dilupakan oleh kaum muslim di Indonesia ialah perayaan dari Hari Raya Kurban atau Idul Adha. Padahal, lanjut Fitri, Idul Adha merupakan salah satu simbol dari penaklukan hawa nafsu manusia dan pasrah kepada perintah Tuhan.
“Hari raya Idul Fitri juga sebaiknya jangan berlebih-lebihan, karena ada ibadah puasa Syawal yang harus dilakukan umat muslim,” pungkas Fitri. (Republika)
3. Cara Meningkatkan Kecerdasan Spiritual
Di postingan sebelumnya telah dijelaskan mengenai pengertian kecerdasan emosi dan arti penting kecerdasan emosi. Dari beberapa alasan kenapa pentingnya kecerdasan emosional dalam menata kehidupan dan meraih kesuksesan maka tiba saatnya kita untuk meningkatkan kecerdasan emosional.
Setelah membaca beberapa sumber kami mendapatkan cara bagaimana kecerdasan emosi dapat kita tinggkatkan. Ada beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan sebagai langkah awal guna meningkatkan kecerdasan emosi. Dua ahli EQ (Emotional Quotient), Salovey & Mayer (1990) – pengembang konsep EQ, jauh sebelum Goleman – merangkumnya menjadi lima aspek berikut ini : a. kesadaran diri (self awareness), b. mengelola emosi (managing emotions), c. memotivasi diri sendiri (motivating oneself), d. empati (emphaty) dan e. menjaga relasi (handling relationship). Seperti halnya Peter dan Salovey, pada mulanya Daniel Goleman pun menyebut 5 dimensi guna mengembangkan kecerdasan emosi yaitu a. Penyadaran Diri, b. Mengelola Emosi, c. Motivasi Diri, d. Empati dan e. Ketrampilan Sosial. Dalam buku terbarunya yang membahas kompetensi EQ, “The emotionally Intelligent Workplace” Goleman menjelaskan bahwa perilaku EQ tidak bisa hanya dilihat dari sisi setiap kompetensi EQ melainkan harus dari satu dimensi atau setiap cluster-nya. Kemampuan penyadaran social (social awareness) misalnya tidak hanya tergantung pada kompetensi empati semata melainkan juga pada kemampuan untuk berorientasi pelayanan dan kesadaran akan organisasi. Dikatakannya pula ada kaitan antara dimensi EQ yang satu dengan lainnya. Jadi tidaklah mungkin memiliki ketrampilan sosial tanpa memiliki kesadaran diri, pengaturan diri maupun kesadaran sosial.
Beberapa cara yang dipaparkan di atas, ada beberapa yang juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan emosional yang kami ambil dalam artikelnya Mocendink, yaitu:
a. Mengenali emosi diri
Ketrampilan ini meliputi kemampuan Anda untuk mengidentifikasi apa yang sesungguhnya Anda rasakan. Setiap kali suatu emosi tertentu muncul dalam pikiran, Anda harus dapat menangkap pesan apa yang ingin disampaikan. Berikut adalah beberapa contoh pesan dari emosi: takut, sakit hati, marah, frustasi, kecewa, rasa bersalah, kesepian
b. Melepaskan emosi negatif
Ketrampilan ini berkaitan dengan kemampuan Anda untuk memahami dampak dari emosi negatif terhadap diri Anda. Sebagai contoh keinginan untuk memperbaiki situasi ataupun memenuhi target pekerjaan yang membuat Anda mudah marah ataupun frustasi seringkali justru merusak hubungan Anda dengan bawahan maupun atasan serta dapat menyebabkan stres. Jadi, selama Anda dikendalikan oleh emosi negatif Anda justru Anda tidak bisa mencapai potensi terbaik dari diri Anda. Solusinya, lepaskan emosi negatif melalui teknik pendayagunaan pikiran bawah sadar sehingga Anda maupun orang-orang di sekitar Anda tidak menerima dampak negatif dari emosi negatif yang muncul.
c. Mengelola emosi diri sendiri
Anda jangan pernah menganggap emosi negatif atau positif itu baik atau buruk. Emosi adalah sekedar sinyal bagi kita untuk melakukan tindakan untuk mengatasi penyebab munculnya perasaan itu. Jadi emosi adalah awal bukan hasil akhir dari kejadian atau peristiwa. Kemampuan kita untuk mengendalikan dan mengelola emosi dapat membantu Anda mencapai kesuksesan. Ada beberapa langkah dalam mengelola emosi diri sendiri, yaitu : Pertama adalah menghargai emosi dan menyadari dukungannya kepada Anda. Kedua berusaha mengetahui pesan yang disampaikan emosi, dan meyakini bahwa kita pernah berhasil menangani emosi ini sebelumnya. Ketiga adalah dengan bergembira kita mengambil tindakan untuk menanganinya. Kemampuan kita mengelola emosi adalah bentuk pengendalian diri yang paling penting dalam manajemen diri, karena kitalah sesungguhnya yang mengendalikan emosi atau perasaan kita, bukan sebaliknya.
d. Memotivasi diri sendiri
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional–menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati–adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Ketrampilan memotivasi diri memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki ketrampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
e. Mengenali emosi orang lain
Mengenali emosi orang lain berarti kita memiliki empati terhadap apa yang dirasakan orang lain. Penguasaan ketrampilan ini membuat kita lebih efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain. Inilah yang disebut sebagai komunikasi empatik. Berusaha mengerti terlebih dahulu sebelum dimengerti. Ketrampilan ini merupakan dasar dalam berhubungan dengan manusia secara efektif.
f. Mengelola emosi orang lain
Jika ketrempilan mengenali emosi orang lain merupakan dasar dalam berhubungan antar pribadi, maka ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan pilar dalam membina hubungan dengan orang lain. Manusia adalah makhluk emosional. Semua hubungan sebagian besar dibangun atas dasar emosi yang muncul dari interaksi antar manusia. Ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan kemampuan yang dahsyat jika kita dapat mengoptimalkannya. Sehingga kita mampu membangun hubungan antar pribadi yang kokoh dan berkelanjutan. Dalam dunia industri hubungan antar korporasi atau organisasi sebenarnya dibangun atas hubungan antar individu. Semakin tinggi kemampuan individu dalam organisasi untuk mengelola emosi orang lain.
g. Memotivasi orang lain.
Ketrampilan memotivasi orang lain adalah kelanjutan dari ketrampilan mengenali dan mengelola emosi orang lain. Ketrampilan ini adalah bentuk lain dari kemampuan kepemimpinan, yaitu kemampuan menginspirasi, mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan membangun kerja sama tim yang tangguh dan andal.
Kecerdasan emosional memang membuat orang lebih mudah mencapai sukses dalam hidup. Tapi untuk menemukan kebahagiaan dan makna dari kehidupan, diperlukan kecerdasan spiritual.
Awal juni lalu, kita dikejutkan oleh peristiwa tragis yang terjadi di Bandung. Seorang wanita yang dikenal sholeh, berpendidikan tinggi, sanggup membunuh 3 anaknya sendiri dalam waktu 24 jam. Bagaimana mungkin seorang wanita yang taat beragama bisa melakukan hal seperti itu? Apalagi kemudian terungkap alasan dari tindakannya itu. Katanya, ia membunuh anak-anaknya justru karena sangat menyayangi anak-anaknya dan takut tidak mampu rnenjadi ibu yang baik.
Menurut DR Jalaluddin Rakhmat MSc, itu bisa terjadi karena dia tidak bahagia. Kalau meminjam istilahnya Tony Buzan, pakar tentang otak manusia dari Amerika, kemampuan seseorang untuk berbahagia dalam segala situasi berhubungan dengan kecerdasan spiritualnya. Seseorang yang dikatakan taat beragama belum tentu cerdas secara spiritual. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kecerdasan spiritual? Dan apa bedanya dengan kecerdasan emosional?
4. Perbedaan Antara Kecerdasan Emosional dan Spiritual
Pada awalnya, orang hanya mengenal kecerdasan iritelektual, kemudian muncul kecerdasan emosional dan kini kecerdasan spiritual. Menurut DR Jalaluddin Rakhmat MSc, seorang psikolog, kecerdasan emosional (emotional intelligent) dipopulerkan Daniel Coleman meskipun dia bukan penemunya. Psikolog Howard Gardner adalah orang yang pertama menemukan sejenis kecerdasan untuk bisa memaharni orang-orang lain, dan disebutnya sebagai kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligent).
Oleh Daniel Coleman, selelah sepakat dengan penelili-peneliti lain, kecerdasan interpersonal itu disebutnya kecerdasan emosional. Pada intinya, kecerdasan emosional adalah kemampuan orang untuk memahami orang-orang di sekitamya, berinteraksi untuk mengembangkan empati, simpati, dan untuk bisa bekerjasama.
Sedangkan Howard Gardner merumuskan delapan kecerdasan majemuk, yaitu kecerdasan musikal, kinestetik (kemampuan menari), visual (kemampuan menggambar, mengekspresikan sesuatu dalam bentuk lukisan), logis matematis, interpersonal (personal), intrapersonal (berpikir refleksi), linguistik (menggunakan bahasa), dan naturalistik. Tapi Gardner tidak memasukkan kecerdasan spiritual karena katanya kecerdasan spiritual itu tidak punya tempat di dalam otak kita seperti kecerdasan yang lain.
Tapi belakangan kecerdasan spiritual itu menurut penelitian-penelitian di bidang neurologi (ilrnu tentang syaraf) justru punya tempat di dalam otak. |adi ada bagian dari otak kita dengan kemampuan untuk mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, untuk melihat Tuhan. Dalam hal ini maksudnya adalah menyadari kehadiran Tuhan di sekitar kita dan untuk memberi makna dalam kehidupan. jadi ciri orang yang cerdas secara spiritual di antaranya adalah bisa memberi makna dalam kehidupannya.
Sedangkan ciri umum orang yang cerdas secara emosional yaitu sukses dalam kehidupan, sukses dalam pekerjaan, mampu bekerjasama dengan orang lain, mampu mengendalikan emosi. Dia juga biasanya pintar menarik hati orang lain, bisa memahami sifat setiap orang dengan tepat, biasanya juga hafal nama-nama orang yang dikenalnya dan mengetahui kesenangan dan ketidaksukaan orang itu. Orang yang cerdas secara emosional itu dalam tingkat yang negatif bisa memanipulasi orang tapi dalam tingkat yang positif bisa menjadi pemimpin yang baik.
5. Cerdas Spiritual Beda Dengan Sikap Religius
Sayangnya, masih menurut DR jalaluddin Rakhmat, di Indonesia kecerdasan spiritual lebih sering diartikan rajin salat, rajin beribadah, rajin ke masjid, pokoknya yang menyangkut agama. Jadi kecerdasan spiritual dipahami secara keliru. Padahal kecerdasan spiritual itu kemampuan orang untuk memberi makna dalam kehidupan. Ada juga orang yang mengartikan kecerdasan spiritual itusebagai kemampuan untuk tetap bahagia dalam situasi apapun tanpa tergantung kepada situasinya.
Mengutip Tony Buzan, pakar mengenai otak dari Amerika, DR jalaluddin Rakhmat menyebutkan bahw ciri orang yang cerdas spiritual itu di antaranya adalah senang berbuat baik, senang menolong orang lain, telah menemukan tujuan hidupnya, jadi merasa rnemikul sebuah misi yang mulia kemudian merasa terhubung dengan sumber kekuatan di alam semesta (Tuhan atau apapun yang diyakini, kekuatan alam semesta misalnya), dan punya sense of humor yang baik. Di Amerika, pelatihan-pelatihan kecerdasan spiritual ditujukan untuk itu, yaitu melatih orang memilih kebahagiaan di dalam hidup.
Penelitian itu dilanjutkan sampai muncul aliran di dalam psikologi yang membuat terapi baru. Dulu kalau ada orang depresi diobati dengan obat anti depresi seperti prozak, sekarang cukup disuruh beramal, menolong orang lain, ternyata terjadi perbaikan. Dengan menolong dan beramal, dia menemukan bahwa hidupnya bermakna, dan itu namanya kecerdasan spiritual, jadi orang yang cerdas spiritual itu bukan yang paling rajin salatnya, tapi yang senang membantu orang lain, mempunyai kemampuan empati yang tinggi, juga terhadap penderitaan orang lain, dan bisa memilih kebahagiaan dalam hidupnya.
Di Indonesia buku Kecerdasan Spiritual yang pertama ditulis oleh Danah Zohar. Saya memberikan kata pengantar disitu sekaligus mengkritik Danah Zohar, tapi ada juga yang tidak saya kritik yaitu kata-kata Danah Zohar bahwa bisa saja seorang ateis malah memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Banyak orang menjadi ateis itu bukan karena argumentasi rasional tapi karena tingkah laku para pemeluk agama yang mengecewakan mereka misalnya melihat orang-orang beragama yang tidak bisa menghargai perbedaan pendapat, merasa dirinya paling benar, dan suka menghakimi orang lain.”
“jadi ada orang yang tidak mempersoalkan Tuhan, yang penting bisa berbuat baik kepada orang banyak. Ini ciri orang yang cerdas spiritual juga. Sekarang baru terbukti secara psikologis bahwa banyak menolong orang itu membuat bahagia. Mengapa? Karena dengan begitu kita jadi menemukan misi hidup.” Demikian penjelasan DR |alaluddin Rakhmat.
6. Kecerdasan Spiritual Bisa Dilatih
Kini pelatihan untuk meningkatkan kecerdasan spiritual semakin mudah ditemukan (lihat boks “Cara praktis cerdas spiritual” dan “Cerdas emosi dan spiritual lewat sembilan jalan”). Masih menurut DR Jalaluddin Rakhmat, mengikuti training bisa saja membantu mempengaruhi kecerdasan spiritual selama konsepnya benar. Keberhasilan seseorang belajar lewat training dapat dilihat jika setelah mengikuti training hidupnya berubah menjadi positif yang tadinya depresi atau menderita kecemasan, ketakutan pada masa depan, kebingungan, lalu menjadi bahagia.
7. Cara Praktis Cerdas Spiritual
Menurut Erbe Sentanu dari Katahati Institute, kecerdasan spiritual itu mempunyai banyak konsep, kiat, dan caranya. “Saya sendiri selalu melihat ke sisi pragmatis dan empirisnya,” katanya. Orang yang cerdas secara spiritual itu bagaimana sih rasanya? Otak dan tubuhnya beroperasi seperti apa?
“Buat saya cerdas secara spiritual atau dekat dengan Tuhan itu harus dibuktikan dengan berada di zona ikhlas yang mensyaratkan tiga hal, yaitu gelornbang otaknya harus lebih banyak dalam posisi Alfa dan Tetha, kemudian sistem perkabelan otaknya (neuropeptide) serasi dan memunculkan perasaan tertentu kepada Tuhan, lalu tubuhnya harus cukup mengandung hormon serotonin, endorfin, dan melantonin dalam komposisi yang pas. Dalam kondisi itu, maka dengan sendirinya ciri-ciri kecerdasan spiritual akan muncul.”
“Tanpa ketiga syarat itu, agak sulit dipercaya. Misalnya seseorang mengaku dekat dengan Tuhan tapi hormon di tubuhnya dominan kortisol, yaitu hormon yang muncul pada saat orang stres, bagaimana mungkin? Seseorang yang dekat dengan Tuhan mestinya lebih banyak berada dalam kondisi khusyuk, kondisi rileks, dan hormon di tubuhnya pasti hormon yang bagus seperti hormon DHEA, serotonin, endorfin, dan melantonin”.
Mempelajari kecerdasan spiritual tidak bisa begitu saja lewat buku, karena hasilnya hanyalah pemahaman kecerdasan spiritual lewat logika, apalagi kalau membacanya sambil stres. Akan lebih efektif jika menggunakar brainwave technology, yaitu dengan mendengarkan CD musik yang berfungsi rnenarik gelornbang otak ke Alfa-Theta selama 20 menit pada pagi dan petang hari.
Kita juga bisa melatih kecerdasan spiritual lewat puasa dengan syarat puasa tersebut dijalankan dengan benar. Karena puasa bisa menurunkan gelornbang otak dari Beta ke Alfa-Theta sehingga rnembuat orang lebih sabar dan memunculkan keinginan untuk berbuat baik. Kalau itu berlanjut hingga 10 hari maka otaknya akan stabil beroperasi di Alfa-Theta. ” “Kalau hal itu bisa berlanjut hingga 20 hari, maka hormon-hormon yang baik dan menenangkan akan diproduksi oleh tubuh. Saat itu dia akan melihat hidup ini dengan cara lain, menjadi mudah bersyukur, mudah rnerasa terharu.”
” Memunculkan perasaan mudah bersyukur itu penting sekali karena rasa syukur bisa diartikan sebagai kemampuan menikmati hidup ini apapun kondisinya, sehingga susah atau senang rasanya tetap nikmat. Rasa syukur yang benar, dalam arti betul-betul menghayati nikmatnya hidup, juga sangat membantu memunculkan kecerdasan spiritual. (N)
B. KECERDASAN TAUHID
1. Pengertian
Perkataan tauhid berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata wahhada, yuwahhidu. Secara etimologis, tauhid berarti keesaan, maksudnya itikad atau keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa, Tunggal, Satu, pengertian ini sejalan dengan pengertian tauhid yang digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu “keesaan Allah“ mentauhidkan berarti mengakui keesaan Allah, mengesakan Allah.
Menurut Syekh Muhammad Abduh: Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan padaNya. Juga membahas tentang rasul rasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka. Sedangkan menurut Husain Affandi al-Jars mengatakan: “Tauhid adalah ilmu yang membahas hal-hal yang menetapkan akidah agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan”. Menurut Prof. M. Thahir A. Muin, Tauhid adalah ilmu yang meyelidiki dan membahas soal yang wajib, mustahi, dan jaiz bagi Allah dan bagi sekalian utusan-utusanNya, juga mengupas dalil-dalil yang mungkin cocok dengan akal pikiran sebagai alat untuk membuktikan adaNya zat yang mewujudkan.
Disamping definisi-definisi di atas masih banyak definisi lain yang dikemukakan oleh para ahli. Akan tetapi belum ada kesepakatan kata di antara mereka mengenal definisi ilmu tauhid ini. Masalah yang dibahas di dalam ilmu tauhid meliputi mabda (persoalan yang berhubungan dengan Allah), wasitah (masalah yang berkaitan dengan perantara atau penghubung antara manusia dan Tuhan), dan ma’ad (hal-hal yang berkenan dengan hari yang akan datang atau kiamat).
2. Manfaat, Tujuan dan Sumber Ilmu Tauhid
Tauhid tidak hanya sekedar diketahui dan dimiliki oleh seseorang, tetapi lebih dari itu, ia harus dihayati dengan baik dan benar. Apabila tauhid telah dimiliki, dimengerti, dan dihayati dengan baik dan benar, kesadaran seseorang akan tugas dan kewajibannya sebagai hamba Allah akan muncul sendirinya. Hal ini nampak dalam pelaksanaan ibadat, tingkah laku, sikap, perbuatan, dan perkataannya sehari-hari. Dengan demikian, kepercayaan atau akidah merupakan pokok dan landasan berpikir bagi umat Islam.
Kalau tauhid cuma diketahui, tapi tidak dimiliki dan dihayati, ia hanya menghasilkan keahlian dalam seluk beluk ketuhanan namun tidak berpengaruh apa-apa terhadap seseorang. Sebaliknya, jika seseorang hanya memiliki jiwa tauhid ia akan menjadi sangat fanatik bahkan mungkin terlempar ke luar dari ketauhian yang sebenarnya. Dengan demikian, maksud dan tujuan tauhid bukanlah sekedar mengaku bertauhid saja, tetapi jauh dari itu sebab tauhid mengandung sifat-sifat:
a. Sebagian sumber dan motivator perbuatan kebajikan dan keutamaan.
b. Membimbing manusia ke jalan yang benar, sekaligus mendorong mereka untuk mengerjakan ibadat dengan penuh keikhlasan.
c. Mengeluarkan jiwa manusia dari kegelapan, kekacauan, dan kegoncangan hidup yang dapat menyesatkan.
d. Mengantarkan umat manusia kepada kesempurnaan lahir dan batin.
Dengan demikian, tauhid sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Ia tidak hanya sekedar memberikan ketentraman batin dan menyelamatkan manusia dari kesesatan dan kemusyrikan, tetapi juga berpengaruh besar terhadap pembentukan sikap dan perilaku keseharian seseorang. Ia tidak hanya berfungsi sebagai akidah, tetapi berfungsi pula sebagai falsafah hidup. Kehadiran tauhid sebagai ilmu merupakn hasil pengkajian para ulama terhadap apa yang tersurat dan tersirat di dalam al qur’an dan hadits. Ayat-ayat al qur’an dan hadist-hadist itu mereka teliti secara intensif sehingga mereka berhasil merumuskannya menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri. Tokoh yang dianggap pemula dalam penyusunan ilmu ini adalah Abu al-Hasan Ali al-Asy’ari ( 260 – 324 H/ 873 – 935 M ).


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
kecerdasan spritual tersusun dalam dua kata yaitu “kecerdasan” dan “spiritual”. Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, terutama masalah yang menuntut kemampuan fikiran. Berbagai batasan-batasan yang dikemukakan oleh para ahli didasarkan pada teorinya masing-masing. Selanjutnya Munandir menyebutkan bahwa Intelegence dapat pula diartikan sebagai kemampuan yang berhubungan dengan abstraksi-abstraksi, kemampuan mempelajari sesuatu, kemampuan menangani situasi-situasi baru.
Beberapa cara yang dipaparkan di atas, ada beberapa yang juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan emosional yang kami ambil dalam artikelnya Mocendink, yaitu:
1. Mengenali emosi diri
2. Melepaskan emosi negatif
3. Mengelola emosi diri sendiri
4. Memotivasi diri sendiri
5. Mengenali emosi orang lain
6. Mengelola emosi orang lain
7. Memotivasi orang lain.
Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan padaNya. Juga membahas tentang rasul rasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka. Sedangkan menurut Husain Affandi al-Jars mengatakan: “Tauhid adalah ilmu yang membahas hal-hal yang menetapkan akidah agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan”.

DAFTAR PUSTAKA
Zohar, Danah dan Ian Marshall. SQ : Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam
Berpikir Integralistik dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan. Bandung : Mizan. 2001.
Subandi, MA., Drs. Seminar Setengah Hari : Menyoal Kecerdasan Spiritual. Yogyakarta,
6 Juni 2001
Djaenudin, Djudjun, S.Th. Artikel : Spiritual Quoetient (Kecerdasan Spiritual). Jakarta
: 22 Oktober, 2001.
WWW. GOOGLE.COM

Related Posts:









0 komentar:

Posting Komentar

next page