Sabtu, 08 Oktober 2011

Teroris dan Jihad dalam Islam

A. Konsep Jihad dalam Islam
Makna Jihad Menurut Bahasa:
Kata jihad di dalam bahasa arab, adalah mashdar dari kata:
Yang merupakan turunan dari kata yang berarti: kesulitan atau kelelahan karena melakukan perlawanan yang optimal terhadap musuh.
Makna Jihad Menurut Istilah: Dalam terminologi syar`i kata jihad mempunyai beberapa makna: Suatu usaha optimal untuk memerangi orang-orang kafir.
Para fuqaha mengungkapkannya dengan defenisi yang lebih rinci, yaitu: suatu usaha seorang muslim memerangi orang kafir yang tidak terikat suatu perjanjian setelah mendakwahinya untuk memeluk agama Islam, tetapi orang tersebut menolaknya, demi menegakkan kalimat Allah. Ini makna umum dari kata jihad dalam terminologi syar`i.
Bila kata jihad dimaksudkan untuk makna selain dari makna diatas biasanya diiringi dengan sebuah kata lain sehingga konteks dari kalimat tersebut mengindikasikan makna yang dituju dari kata jihad tersebut, ini berarti setiap kita menemukan kata jihad dalam Al-Qur`an dan sunnah konotasinya adalah memerangi orang kafir dengan senjata.
Usaha optimal untuk mengendalikan hawa nafsu dalam rangka mentaati Allah atau lebih dikenal dengan (mujahadatun nafsi), seperti makna kata jihad dalam sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam Seorang mujahid adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya untuk mentaati Allah.
Selain dua makna diatas adalah seperti makna kata jihad dalam sabda Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, ketika seorang pemuda meminta izin beliau untuk berjihad dan beliau menanyakan, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?", ia menjawab," Ya", beliau bersabda," optimalkanlah baktimu terhadap mereka. H.R.Bukhari.
1. Opini Yang Salah Tentang Maksud "Jihad Akbar":
Ada sebuah opini yang berkembang di tengah masyarakat Islam hampir di seluruh belahan dunia Islam, bahwa jihad yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu (Mujahadatun nafsi) sedangkan jihad mengangkat senjata melawan orang kafir hanyalah jihad kecil, biasanya ungkapan ini disertai dengan menyitir sebuah hadist Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, sepulang beliau dari sebuah peperangan melawan orang kafir, Kalian datang dari melakukan suatu amal yang paling baik, dan kalian datang dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar, yaitu: seorang hamba melawan hawa nafsunya.
Opini ini perlu diberi catatan dari beberapa sisi:
- Hadits yang dijadikan landasan opini diatas "mardud" didhaifkan oleh banyak ulama hadist, diantaranya; Al Baihaqi, Al Iraqi dan As Suyuthi dalam Al Jami` As Shaghir, dikarenakan seorang perawinya yang bernama Yahya bin Al `Ala` seorang yang tertuduh sebagai pemalsu hadits seperti yang dijelaskan Ibnu Hajar dalam "Taqrib at tahzib". Jadi pembagian jihad kepada; jihad ashghar dan jihad Akbar tidak mempunyai dalil yang kuat.
- Makna jihadun nafsi terlalu luas, sebagian orang memahaminya dengan terminologi masing-masing, andai maksudnya membersihkan jiwa dengan zikir, wirid-wirid khusus dan amalan-amalan sunnat tentulah jihad memerangi orang-orang kafir lebih mulia disisi Allah, sebagaimana firman Allah (Q.S. An Nisaa`:95-96)

Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang tidak ikut berjihad dengan pahala yang besar. Beberapa derajat dari Allah, maghfirah dan rahmat-Nya, adalah Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.
Namun jika yang dimaksud dengan jihadun nafsi mengendalikan jiwa untuk selalu merealisasikan tauhid, kafir terhadap thaghut dan komitmen dengan seluruh syari`at Allah, tidak dapat diingkari bahwa jihadun nafsi adalah asas dan jihad memerangi kekafiran merupakan salah satu hasil dari jihadun nafsi. Implikasinya bahwa orang yang sukses dalam jihad memerangi orang kafir dengan meraih syahadah yang dapat memberikan syafa'at untuk 72 orang anggota keluarganya dan kekal dalam surga Allah hanyalah orang yang berhasil melewati fase awal jihad, yakni jihadun nafsi.
Inilah makna ungkapan Ibnu Al Qayyim, "Manakala jihad memerangi musuhmusuh Allah (orang-orang kafir) hanya bagian dari jihad nafsi dalam merealisasikan tauhid … maka jihadun nafsi lebih diprioritaskan dari pada jihad mengangkat senjata menumpas kekafiran.
- Ungkapan "jihad akbar adalah jihadun nafsi" sering disalah gunakan untuk mengecilkan peran orang yang memanggul senjata mengorbankan anak, isteri dan harta benda demi tegaknya kalimat Allah, bahkan untuk melemahkan dan menghalangi orang berjihad fi sabilillah, dengan mengatakan bahwa menyibukkan diri dengan jihad akbar lebih afdhal, padahal andai kita mencermati dengan seksama tentunya kita akan mengambil kesimpulan bahwa konsisten dengan jihadun nafsi mengharuskan kita untuk berjihad fi sabilillah jika memang waktunya telah tiba.

2. Fase-Fase Di Syari`atkannya Jihad
Jihad salah satu di antara ibadah yang dalam proses tasyri`nya mengikuti sunnah tadarruj (bertahap), yang dapat kita bagi menjadi 4 fase:
a. Periode Mekah
Dalam periode ini jihad dengan mengangkat senjata tidak disyari`atkan, yang diperintahkan pada periode ini adalah jihad dengan menggunakan hujjah dan argumen yang bersumber dari Al qur`an dalam menyampaikan risalah Islam kepada manusia pada umumnya dan khususnya masyarakat Quraisy, Allah berfirman, (Q.S. Al Furqan: 51-52).

Dan andai Kami menghendaki, niscaya Kami utus di tiap-tiap negeri seorang Rasul. Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan jihad yang besar.
Ibnu qayyim berkata, "Allah telah memerintahkan berjihad sejak periode Mekah dengan firman-Nya (Q.S. Al Furqan: 52) yang tentunya surat Makkiyah, menghadapi orang-orang kafir dengan Hujjah, penjelasan dan menyampaikan Al qur`an …"
Bahkan ketika beberapa orang sahabat yang dipimpin oleh Abdurrahman bin `Auf datang kepada Nabi mengeluhkan keadaan mereka sambil berkata,"Kami dahulu berada dalam kemuliaan disaat kami masih musyrik, apakah kami menjadi hina setelah kami beriman?!", Nabi menjawab, Aku diperintahkan untuk mema`afkan, maka janganlah kalian mengangkat senjata!
Juga setelah selesai pembai`atan `Aqabah yang ke dua sebagian para peserta yang datang dari Yastrib meminta izin dari Nabi untuk menyerang penduduk `Aqabah dengan pedang, beliau menjawab, … aku tidak diperintahkan untuk melakukan hal ini.
Dalam (Q.S. An Nisaa`:77) Allah mempertegas larangan mengangkat senjata di periode Mekah, firman-Nya:

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, "tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!
Nushus diatas sangat jelas bahwa selama periode Mekah jihad mengangkat senjata dilarang (hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Qurthubi 2/347). Yang ada hanya jihadun nafsi menanamkan aqidah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, sabar dan istiqamah menghadapi segala bentuk penindasan dari kaum kafir serta yakin dengan janji Allah dan Rasul-Nya.
Tidak-disyaria`tkannya jihad mengangkat senjata dalam periode ini yang dalam pandangan kasat mata kebanyakan manusia juga termasuk sebagian sahabat hal itu telah patut karena penindasan kaum Quraisy sampai pada titik diluar batas kewajaran- tentulah mempunyai hikmah yang sangat dalam untuk keberlangsungan dakwah islamiyah keseluruh penjuru bumi.
b. Fase dibolehkan Jihad Qital dan belum difardhukan
Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan para sahabatnya hijrah ke Madinah, menetap di sana membangun sebuah negeri Islam yang berdaulat dan memiliki kekuatan, persiapan dan peralatan yang dirasa cukup untuk menghadapi setiap gangguan, yang dilain pihak kaum kafir Quraisy selalu melancarkan berbagai bentuk tekanan, maka Allah membolehkan (bukan difardhukan) kaum muslim mengangkat senjata, membela dan mempertahankan jiwa dan dakwah Islam dari segala bentuk penindasan, dengan firman-Nya: (Q.S. Al Hajj: 39)

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa menolong mereka.
c. Fase difardhukan jihad qital atas kaum muslim terhadap orang yang memulai memerangi mereka.
Fase ini juga bisa dinamakan dengan jihad difa` (berperang karena membela diri), yakni kaum muslim diwajibkan mengangkat senjata memasuki medan pertempuran melawan setiap kekuatan yang memulai menabuh genderang perang terhadap mereka, Allah berfirman, (Q.S. Al Baqarah: 190- 191)

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang melampaui batas…. Maka jika mereka memerangi kamu, maka bunuhlah mereka! Demikianlah balasan bagi orang-orang yang kafir.
Pada periode ini sekalipun kaum muslim telah mempunyai kekuatan tetapi belum sanggup memulai pertempuran menghadapi seluruh kekuatan kafir dan musyrikin, maka dengan hikmah Allah, Dia tidak mewajibkan kepada hambanya untuk melakukan penyerangan karena mereka belum mampu melaksanakannya.
d. Fase difardhukan jihad qital terhadap setiap kekuatan kufur apapun agama dan ras mereka, sekalipun mereka tidak memulai berperang hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah.
Setelah kekuatan kufur di kota Mekah runtuh di tangan 10.000 orang sahabat yang dipimpin langsung oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, dengan ini berarti berakhirlah permusuhan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin dan manusia berbondong-bondong memeluk agama Allah sehingga dakwah islam menjadi memiliki banyak pasukan dan peralatan serta kekuatan, maka pada tahun ke-9 H Allah mewajibkan kaum muslim memerangi setiap bentuk kekufuran dengan firman-Nya, (Q.S. At Taubah: 5)

Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.
Dan nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
Aku diperintahkan memerangi seluruh manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak diibadati selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah (HR.Muslim)
Demikianlah jihad thalab (jihad memerangi setiap aral yang merintangi arus dakwah islam) akhirnya difardhukan dan setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat kewajiban ini tidak berubah. Kemudian kewajiban jihad thalab ini diteruskan oleh para khulafaur rasyidin dan para khalifah serta para penguasa setelah mereka. Hingga akhirnya khilafah Utsmaniyah runtuh kurang dari satu abad yang lalu dan kewajiban inipun terhenti sementara sampai kaum muslim memiliki kembali kekuatan untuk menumpas segala bentuk kesyirikan dan kekufuran.
3. Hukum jihad
Jihad memiliki beberapa hukum :
a. Fardhu `ain (wajib bagi setiap muslim) dalam beberapa kondisi;
- Ketika seorang muslim telah berada dalam barisan pasukan yang sedang menghadapi pertempuran, maka fardhu `ain bagi nya berjihad dan berdosa meninggalkan medan, Allah berfirman, (Q.S. Al Anfaal: 45)

Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu mundur ( Al Anfaal :15)
- Bila musuh telah datang menyerang salah satu negeri muslim, maka wajib bagi setiap penduduknya berjihad mengusir mereka. Jika musuh belum tertumpas wajib `ain bagi setiap penduduk negeri muslim sekitarnya berjihad hingga musuh keluar dari negeri tersebut. Allah SWT. berfirman (Q.S. At Taubah :123)

Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.
- Bila imam (pemimpin) memerintah seorang muslim untuk pergi berjihad, maka wajib `ain baginya melaksanakn perintah tersebut, nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
Bila kamu diperintahkan berjihad, maka pergilah berjihad (H.R.Bukhari).
b. Fardhu kifayah
Jihad thalab (memulai penyerangan terhadap sebuah negeri yang penduduknya tidak beriman kepada Allah dan hari akhir) hukumnya fardhu kifayah, yang bila dilakukan oleh sebagian kaum muslim terhapuslah dosa dari seluruh kaum muslim, Allah berfirman, (Q.S. At taubah: 122)

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin pergi semuanya ke medan perang
Perlu digarisbawahi bahwa hukum diatas berlaku manakala kaum muslim mempunyai negeri islam berdaulat yang menerapkan hukum-hukum Allah dan dipimpin oleh seorang muslim sejati serta memiliki kekuatan, peralatan dan perlengkapan yang dirasa mampu untuk menegakkan jihad difa` maupun jihad thalab. Namun disaat kaum muslim tidak mempunyai negeri Islam, para pemimpinnya mencampakkan hukum Allah dan kekuatan serta peralatan perangnya tidak sampai seujung kuku kekuatan musuh, maka hukum diatas tidak berlaku, bahkan lebih dari itu, kaum muslim dibenarkan membayar upeti kepada musuh jika memang keadaannya menuntut demikian, hal ini dijelaskan oleh para ulama mazhab.
Ibnu Taimiyah berkata," Kaum mukminin yang berada di sebuah negeri dan mereka tidak mempunyai kekuatan (lemah) maka hendaklah mereka mengamalkan ayat yang memerintahkan tetap sabar dan memberi maaf terhadap orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya baik dari Ahlul kitab maupun orang musyrik, sedangkan kaum mukminin yang mempunyai kekuatan maka mereka wajib mengamalkan ayat yang memerintahkan memerangi para pemimpin kekufuran dan ayat yang memerintahkan memerangi ahlul kitab hingga mereka mau membayar jizyah (upeti) dan mereka dalam keadaan yang hina…"
Hal yang senada dengan perkataan diatas yaitu perkataan Az Zarkasyi dan As Suyuti bahwa bilamana umat Islam melewati masa dan keadaan yang sama dengan masa dan keadaan periode Mekah maka sepatutnya mereka mengamalkan ayat-ayat yang diperintahkan untuk sabar dan memaafkan dan terus mendakwahi setiap musuh dengan cara yang sebijak mungkin.
Implikasinya ayat-ayat sebelum ayat "saif" dalam surat At taubah tidak dimansukhkan tetapi diamalkan manakala kondisi yang serupa terjadi pada umat Islam.
4. Jihad terus berlangsung hingga akhir zaman
Jihad sebagai salah satu dari sekian banyak kewajiban yang difardhukan Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman, sudah menjadi keyakinan kita bahwa seluruh syari`at itu terus berlangsung dan sangat relevan, kapanpun dan dimanapun seorang muslim berada. Tidak satupun syari'at dimansukhkan setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat, berdasarkan dalil-dalil di bawah ini;
- Sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yang diriwayatkan dari Imran bin Hushain radhiallahu `anhu “Senantiasa ada segolongan dari umatku yang berperang di atas kebenaran selalu menang hingga hari kiamat”. (H.R.Muslim)
- sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu `anhu, “Dan jihad terus berlangsung semenjak Allah mengutusku hingga akhir umatku memerangi Dajjal”.
Dari dua teks hadist di atas sangat jelas bahwa kewajiban berjihad tetap terus berlangsung hingga akhir zaman.
Firman Allah swt ( Q.S. Al Anfaal: 39)

Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
Firman Allah swt (Q.S. At Taubah: 33)

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.
B. TERORIS DALAM PANDANGAN ISLAM
Sebelum kita membahas tentang terorisme menurut pandangan agama Islam, terlebih dahulu marilah kita pahami tentang pengertian terorisme.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, artinya :
Terorisme : Penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan, dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik).
Teroris : Adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut (biasanya untuk tujuan politik).
Teror : Perbuatan sewenang-wenang, kejam, bengis, dalam usaha menciptakan ketakutan, kengerian oleh seseorang atau golongan.
Selanjutnya mari kita cermati dan kita tela’ah kembali ajaran Islam, agama yang diridlai Allah SWT, sebagai petunjuk bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia yang sedang kita jalani sekarang ini, maupun kebahagiaan hidup yang haqiqi di akhirat kelak. Allah SWT mengutus nabi Muhammad SAW dengan membawa agama Islam di tengah-tengah manusia ini sebagai rahmat, dan merupakan suatu kenikmatan yang besar bagi manusia bukan suatu mushibah yang membawa malapetaka. Allah SWT berfirman :

Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [QS.
Al-Anbiyaa’ : 107]

Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [QS. Saba’ : 28]

Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridlaan-Nya ke jalan keselamatan dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap-gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seidzin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. [QS. Al-Maaidah : 15-16]

Sungguh Allah telah memberi kenikmatan kepada orang-orang mukmin ketika Allah mengutus di kalangan mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. [QS. Ali Imran : 164]
Dari ayat-ayat tersebut dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain, menerangkan bahwa NabiMuhammad SAW dan Islam yang diserukannya, benar-benar membawa rahmat di alam semesta ini, dan mengeluarkan manusia dari gelap-gulita (tanpa mengetahui tujuan hidup), ke alam yang terang-benderang, sehingga mengetahui jalan yang lurus yang membebaskan dirinya dari kesesatan menuju jalan yang menyelamatkan hidupnya di dunia dan di akhirat kelak. Bahkan sebelum Nabi menyerukan Islam, manusia selalu dalam kekacauan dan permusuhan, sebagaimana peringatan Allah dalam surat Ali Imran : 103

Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) permusuhmusuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara ... [QS. Ali Imran 103]
Oleh karena itu seharusnyalah manusia bersyukur kepada Allah atas diutusnya Nabi Muhammad SAW membawa dinul Islam ini. Karena hanya dengan Islamlah manusia di dunia ini dapat hidup rukun, damai dan saling menebarkan kasih sayang. Dengan mengabaikan Islam, maka dunia akan kacau-balau, terorisme timbul di mana-mana seperti sekarang ini.
Agama Islam yang suci ini dibawa oleh Rasulullah yang mempunyai kepribadian yang suci pula, serta memiliki akhlaqul karimah dan sifat-sifat yang terpuji, sebagaimana dijelaskan oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi, antara lain :

Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. [QS. Ali Imran : 159]

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. [QS. At-Taubah: 128]
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki sifat lemah-lembut serta hati beliau terasa amat berat atas penderitaan yang menimpa pada manusia, maka beliau berusaha keras untuk membebaskan dan mengangkat penderitaan yang dirasakan oleh manusia tersebut. Rasulullah SAW bersabda:
“Hai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Kasih Sayang dan senang kepada kasih sayang, dan Dia memberi (kebaikan) pada kasih sayang itu apa-apa yang Dia tidak berikan kepada kekerasan, dan tidak pula Dia berikan kepada apapun selainnya”. [HR. Muslim juz 4, hal. 2003]
“Kejahatan dan perbuatan jahat, keduanya sama sekali bukan ajaran Islam. Dan orang yang paling baik Islamnya ialah yang paling baik akhlaqnya.” [HR. Ahmad juz 7, hal. 410, no. 20874]
“Dan apabila Allah mencintai kepada seorang hamba, Allah memberinya kasih sayang
(kelemah-lembutan). Dan tidaklah suatu keluarga yang terhalang dari kasih sayang, melainkan mereka terhalang pula dari kebaikan.” [HR. Thabrani dalam Al-Kabiir juz 2, hal. 306, no. 2274]
Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa ada seorang ‘Arab gunung kencing di masjid, lalu orang-orang marah, dan akan memukul sebagai hukuman. Kemudian melihat kemarahan para shahabat tersebut, beliau bersabda :
“Biarkanlah dia, dan siramlah pada bekas kencingnya itu seember atau setimba air, karena sesungguhnya kamu sekalian diutus untuk memberi kemudahan bukan diutus untuk membuat kesukaran/kesusahan.” [HR. Bukhari juz 1, hal. 61]
Dalam sabdanya yang lain :
“Dari Anas, dari Nabi SAW beliau bersabda, “Permudahlah dan jangan mempersulit. Dan gembirakanlah dan jangan kalian membuat manusia lari”. [HR. Bukhari, juz 1, hal. 25 ].
Setelah kita cermati kembali tentang dinul Islam sekaligus peribadi Rasulullah SAW yang diamanati oleh Allah SWT untuk menyebarkan dinul Islam ke seluruh ummat manusia, maka jelas sekali bahwa terorisme sama sekali tidak dikenal, bahkan bertolak belakang dengan ajaran Islam.
Terorisme dengan menggunakan kekerasan, kekejaman serta kebengisan dan cara-cara lain untuk menimbulkan rasa takut dan ngeri pada manusia untuk mencapai tujuan. Sedangkan Islam dengan lemah-lembut, santun, membawa khabar gembira tidak menjadikan manusia takut dan lari, serta membawa kepada kemudahan, tidak menimbulkan kesusahan, dan tidak ada paksaan.
Bahkan dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa dalam peperangan pun Nabi SAW berpesan kepada para shahabat, sabda beliau :
“Hai manusia, janganlah kamu menginginkan bertemu dengan musuh, dan mohonlah kepada Allah agar kalian terlepas dari marabahaya. Apabila kalian bertemu dengan musuh, maka bershabarlah dalam menghadapi mereka, dan ketahuilah bahwasanya surga itu dibawah bayangan pedang”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1372
Pesan Nabi SAW tersebut menunjukkan betapa kasih sayang beliau terhadap jiwa manusia, sekalipun dalam peperangan sedapat mungkin menghindari bertemu musuh agar tidak terjadi marabahaya. Namun kalau terpaksa bertemu dengan musuh, jangan takut dan jangan dihadapi dengan hawa nafsu yang melampaui batas, tetapi hendaklah dihadapi dengan shabar dan tabah, karena surga di bawah bayangan pedang.
Memang kedua hal tersebut mempunyai tujuan yang berbeda. Terorisme biasanya digunakan untuk tujuan politik, kekuasaan, sedangkan Islam bertujuan untuk menuntun manusia dalam mencapai kebahagiaan hidupnya dengan dilandasi rasa kasih sayang hanya semata-mata mengharap ridla Allah SWT.
Oleh karena itu rasanya tidak berlebihan kalau ada orang yang mengatakan bahwa “politik itu kotor”, karena dalam mencapai tujuannya dengan menghalalkan segala cara, sekalipun dengan terorisme. Dengan demikian bagi seorang muslim haram hukumnya mendukung, mengikuti alur politik yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan politiknya.
Yang demikian itu bukan berarti orang Islam tidak boleh berpolitik, tidak boleh meraih kekuasaan. Boleh berpolitik, tetapi tidak boleh keluar dari bingkai Islam, dengan tujuan untuk kejayaan Islam dengan mengharap ridla Allah semata-mata.
Dalam mencapai kesuksesan cita-cita harokahnya, Rasulullah melalui cara-cara yang ditunjukkan oleh Allah serta berusaha memenuhi persyaratan untuk memperoleh janji Allah, karena janji Allah pasti tepat dan tidak perlu diragukan. Rasulullah SAW membina kekuatan dari bawah, sebagaimana firman Allah SWT:

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan idzin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimatkalimat yang buruk seperti pohon yang buruk yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. [QS. Ibrahim : 24-26]
Rasulullah membina dasar tauhid pada ummat manusia + 10 tahun di Makkah dengan penuh tantangan, tindak kekejaman dan terorisme dilakukan oleh orang-orang musyrikin dan kafirin Makkah terhadap Nabi dan para pengikutnya.
Namun teror-teror yang dilakukan oleh mereka tidak menjadikan kaum muslimin takut, malah makin bertambah kuat dan mendorong lebih dekat dan berserah diri (tawakkal) kepada Allah SWT.
Dalam suatu peristiwa, orang kafir melakukan teror dengan ucapan :

Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka. Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung”. [QS. Ali Imran : 173]
Itulah buah tauhid yang kuat, bagaikan pohon yang baik, tidak akan tumbang walaupun dihempas badai topan yang dahsyat. Untuk menumbuhkan pohon-pohon yang baik seperti itu perlu menanam dan memelihara dengan sungguh-sungguh, bekerja keras dan ikhlash, semata-mata karena Allah, tidak mudah tergiur dengan tipudaya dunia yang dapat membelokkan cita-cita yang mulia.
Oleh karena itu ketika Rasulullah mendapat tawaran materi, bahkan akan diangkat menjadi raja (penguasa) di negeri itu asalkan beliau mau berhenti dari dakwahnya, dengan tegas beliau menjawab, “Andaikata kamu dapat menaruh bulan dan matahari di kedua tanganku, aku tidak akan berhenti berdakwah, sehingga agama Allah ini menjadi terang (menjadi kehidupan manusia) atau aku mati karena membelanya”.
Dengan kuat beliau menanamkan kepada ummatnya akan janji Allah.

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal shaleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridlai-Nya untuk mereka, dan Dia benarbenar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq. [QS. An-Nuur : 55]
Penekanan pada akhir ayat tersebut perlu mendapat perhatian bagi kita semua, terutama para politikus muslim, “Barangsiapa tetap kafir sesudah janji itu”, maksudnya : Dengan memilih cara lain dalam mencapai tujuannya dan meninggalkan jalan yang dijanjikan oleh Allah, yakni dengan memperkokoh iman serta memperbanyak amal shaleh, maka mereka itulah orangorang yang fasiq.

Dan Allah tidak menunjuki orang-orang yang fasiq. [QS. At-Taubah : 24]
Kaum politisi yang ada sekarang sekalipun muslim, pada umumnya tidak mengikuti petunjukpetunjuk Allah dan praktek yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Mereka berjuang hanya untuk memperoleh kursi (kedudukan).
Maka tidak ada kegiatan dakwah untuk membina ummat secara serius agar mempunyai landasan dasar tauhid yang kuat seperti pohon yang baik sebagaimana yang digambarkan oleh Allah SWT.
Da’i kaum politisi aktif berdakwah menyelenggarakan pengajian-pengajian dan kegiatankegiatan keagamaan hanya ketika menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) untuk meraih simpati dari masyarakat, dan setelah selesai Pemilu selesai pulalah kegiatan-kegiatan tersebut.
Kemudian tidak ada lagi pengajian-pengajian, aktifitas-aktifitas sebagaimana sebelum terselenggaranya Pemilu. Maka hasilnya seperti pohon yang jelek, akarnya rapuh dan tidak memiliki daya tahan. Jangankan dengan hempasan badai topan yang besar, dengan angin sepoi-sepoi saja cukup dapat menumbangkan pohon tersebut, dan terangkat seakar-akarnya sehingga tidak lagi dapat tegak berdiri. Tidak tegak dalam memposisikan dirinya sebagai wakil rakyat yang berjanji akan memikirkan nasib rakyat, berjuang untuk kesejahteraan rakyat.
Kenyataannya yang terjadi banyak wakil rakyat yang masuk penjara karena menipu rakyat, berjuang untuk memperkaya dirinya sendiri dan keluarganya dengan jalan korupsi, kolusi dan sejenisnya,
Kalau demikian keadaannya, apa yang kita harapkan dari kaum politisi untuk Islam ini ? Politikus Islam pun kadang lepas dari kendali agama, dengan entengnya menghina, merendahkan, bahkan memfitnah untuk menjatuhkan sesama muslim, hanya karena berbeda aspirasi politiknya. Allah SWT telah memperingatkan :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum (golongan) memperolok-olok kaum (golongan) yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olok) lebih baik dari mereka (yang memperolok-olok). [QS. Al-Hujuraat : 11]
Nabi SAW telah memperingatkan juga bahwa sesama muslim adalah saudara dan haram darahnya, haram kehormatannya dan haram hartanya. [HR. Bukhari]. Namun itu semua tidak diindahkan.
Oleh karena itu melalui kesempatan ini semoga dapat menjadi jembatan, menyadarkan para politikus muslim, hendaklah mempererat persaudaraan sesama muslim, walaupun berbeda partai, tetapi tetap membawa misi yang sama :
(kejayaan Islam dan muslimin) dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk Allah dan praktek Rasulullah dalam menggalang ummat, serta menghindari terorisme dalam mencapai tujuan.
Dengan demikian, jelas bahwa terorisme sangat bertolak belakang dengan Islam. Terorisme dalam mencapai tujuannya dengan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan, sedangkan Islam dalam mencapai tujuan da’wahnya dengan lemah lembut dan kasih sayang. Cara demikian dilakukan bukan berarti ummat Islam itu penakut, tetapi dikehendaki agar manusia menerima Islam dengan kesadaran, bukan karena takut kekerasan. Namun demikian kalau dengan lemah-lembut da’wah Islam dilecehkan, dihinakan, dirintangi dan diteror, maka sikap yang tadinya lemah-lembut bagaikan sutera yang halus bisa berubah bagaikan singa ganas dan pemberani demi kejayaan Islam wal muslimin.
Karena diri dan harta orang mu’min itu dibeli oleh Allah, dibayar dengan surga. Perhatikan firman Allah dalam QS. At-Taubah : 111, yang artinya, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah ? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar”.

Daftar Rujukan

- Abu Ziyah 2007. Konsep Jihad dalam Islam. Islamhouse.com
- Al-Ustadz Drs. Ahmad Sukina. Disampaikan Dalam Khutbah ‘Iedul Fithri 1430 H

Related Posts:









0 komentar:

Posting Komentar

next page